Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah menunjukkan studi perbandingan dalam penerjemahan beberapa hadits Nabi Muhammad (semoga damai dan berkah terlimpah padanya). Dipilih dari kompilasi Hadits Empat Puluh karya An-Nawawi sehingga penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan masalah dan kesulitan yang dihadapi oleh seorang penerjemah. 

Pengantar

Penelitian ini mempelajari terjemahan kitab Hadits Empat Puluh karya An-Nawawi, sebuah studi komparatif/perbandingan. Karya tersebut merupakan kompilasi yang mencakup empat puluh dua hadits yang disabdakan oleh Rasulullah Muhammad (semoga damai dan berkah terlimpah padanya). Kompilasi ini dinamai berdasarkan nama orang yang mengumpulkannya: Al-Imam Muhyi Ad-din Yahya bin Sharaf An-Nawawi yang lahir di Nawa, sebuah tempat yang dekat dengan Damaskus (Al-Jabaan, hal. 23).

Kisah di balik penyusunan kitab ini adalah bahwa seorang cendekiawan Islam/ulama, yaitu Ibn Solah, menyusun di papan pengajaran ilmu hadist-nya hanya dua puluh enam hadist yang ia anggap sebagai komponen utama dalam Islam, kemudian Al-Imam An-Nawawi menambahkan enam belas, sehingga menjadi empat puluh dua hadits. Al-Imam An-Nawawi menekankan bahwa semua hadist ini benar, karena terkait dengan periwayatan Al-Bukhari dan Muslim (Al-Jabaan, hal. 26-27).

Banyak cendekiawan Islam yang mengumpulkan empat puluh hadits tentang masalah-masalah tertentu dalam kehidupan, namun sebagian besar cendekiawan ini setuju bahwa Hadits Empat Puluh An-Nawawi adalah suatu seruan hukum Islam universal yang mempelajari isu-isu besar dan beragam bagi umat Islam. Dengan demikian, koleksi Hadits Empat Puluh karya An-Nawawi adalah koleksi hadist terpenting dari Rasulullah (semoga damai dan berkah terlimpah padanya) (Al-Jabaan, hlm. 27).

1.2 Pernyataan Masalah Penelitian

Penerjemahan teks-teks Islam (yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi) adalah salah satu jenis penerjemahan yang paling sulit. Kegiatan ini membutuhkan minat dari para penerjemah sehingga bahaya akibat ketidaktahuan seorang penerjemah dalam masalah-masalah Islam mempengaruhi berlangsungnya penerjemahan teks, yang pada gilirannya akan mempengaruhi banyak Muslim non-Arab, karena mereka tidak dapat mengenali apakah teks yang diterjemahkan itu benar atau salah. 

Ketidaktahuan ini juga mengarah pada terjemahan yang terdistorsi, sehingga memungkinkan mereka yang dengan sengaja menyerang ajaran Islam sering mencerca Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Semua bahaya ini harus dihadapi sehingga cara menghadapinya adalah dengan terjemahan yang benar, yang menerangi jalan yang lurus dan menuntun pada kebenaran, serta memberikan pembelaan dari para pelaku kejahatan terhadap ajaran Islam.

1.3 Hipotesis Penelitian

Para peneliti berhipotesis bahwa teks-teks keagamaan adalah yang paling sulit dalam proses penerjemahan, karena makna yang dimaksudkan dari teks-teks ini adalah suci dan tidak memperkenankan distorsi apapun. Sulit untuk menerjemahkannya kecuali jika seorang penerjemah memiliki kemampuan ilmiah dan kebenaran baik tentang sumber dan bahasa target untuk mentransfer makna yang dimaksud.

Kesalahan umum yang dilakukan oleh para penerjemah teks keagamaan adalah karena ketaatan mereka kepada teks asal secara harfiah, sehingga mereka menyampaikan makna yang tidak pantas atau terdistorsi tentang teks sumber dalam bahasa target. 

Menggunakan transliterasi daripada terjemahan untuk istilah-istilah Islam juga dapat mempengaruhi pemahaman pembaca non-Arab, terutama jika penerjemah menggunakannya tanpa menjelaskan makna dari istilah-istilah ini.

1.4 Signifikansi Studi

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki penerjemahan sunnah kenabian yang menjadi salah satu cara terbesar untuk menyebarkan Islam setelah menerjemahkan Al-Quran. Jika menerjemahkan teks untuk hal-hal duniawi adalah hal yang penting, maka bagi Islam dan kaum Muslim, menerjemahkan teks agama lebih penting lagi untuk menjaga hak agama dari segala kesalahan pemahaman terhadapnya.

2.0 Penerjemahan

2.1 Sejarah Penerjemahan

Penerjemahan adalah salah satu kegiatan yang sudah cukup lama bagi umat manusia. Penerjemahan merupakan fenomena yang melekat dalam sejarah manusia di zaman kuno. Hal ini tampak dengan munculnya kebutuhan untuk saling memahami di antara para penutur bahasa yang berbeda, sehingga penerjemahan adalah satu-satunya alat untuk berkomunikasi dengan segala jenis pertukaran dan hubungan antara manusia, secara individu dan kolektif (Al-Jaberi, 1431 AH (2010), hal. 2).

Sulit untuk menentukan awal sejarah dari penerjemahan. Mungkin, teks-teks agama, dokumen resmi, dll. yang mencatat interaksi antara negara dan masyarakat adalah terjemahan tertua dari perspektif sejarah. Model penerjemahan ini berasal dari Timur Dekat Kuno. Yang tertua adalah yang ditulis oleh bangsa Sumeria, yang diketahui dari milenium keempat Sebelum Masehi (SM). 

Model-model ini lebih seperti kamus, yang berisi sejumlah kata yang direkam pada lembaran tanah liat dalam bahasa Sumeria dan artinya dalam bahasa Akkadia. Kemudian, orang-orang Assyria mengetahui terjemahan melalui Akkadian Sarjon (سرجون) yang menerbitkan prasasti berhias dalam beberapa bahasa pada milenium ketiga SM di seluruh kerajaannya. Juga, orang-orang di Babilonia berbicara berbagai bahasa selama era Hamurabi (Al-Jaberi, 1431 AH (2010), hal. 2).

Dari Firaun Mesir, ada beberapa model khusus untuk perjanjian antara orang Mesir dan orang Hittite yang ditulis dalam dua bahasa ribuan tahun lalu. Model yang paling terkenal adalah Rosseta Stone yang ditulis dalam tiga bahasa; Hieroglif, Demosium dan Yunani Kuno. Di Persia, ada juga prasasti Bihiston (بهستون) yang ditulis dalam tiga bahasa; Persia Kuno, Assyria, dan Babilonia (Al-Jaberi, 1431 AH (2010), hal. 2).

Tuanya usia temuan-temuan di atas kesemuanya mengacu pada keberadaan peran penting penerjemahan di seluruh Kekaisaran Persia Kuno sehingga uji coba awal penjurubahasaan/interpreting (terjemahan lisan) secara langsung dilakukan sejak saat itu. Jadi, periode itu memainkan peranan penting melalui uji coba yang bertanggung jawab untuk mentransfer terjemahan meskipun dari bahasa Ibrani atau Aramaik ke bahasa lain (Al-Jaberi, 1431 H (2010), hal. 2).

Selama Abad Pertengahan, pusat penerjemahan dan radiasi budaya diorientasikan di Baghdad, ibukota negara Islam, sehingga karya-karya besar Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh para penerjemah Syria pada abad kesembilan dan kesepuluh. Kemudian, pusat penerjemahan dipindahkan ke Toledo pada abad kedua belas ketika maha karya Yunani itu diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Selain itu, banyak karya Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani dan Latin yang kian menegakkan dan mendukung hubungan antara lingkungan Arab dan Yahudi di Andalusia masa Islam. Mungkin, model terjemahan yang paling terkenal ke dalam bahasa Latin adalah Al-Quran pada tahun 1143 M yang membangkitkan banyak masalah dan juga masalah tentang kejujuran terjemahan dalam mentransfer teks dengan benar (Al-Jaberi, 1431 H (2010), hal. 3).

Pada abad keenam belas, Martin Luther, seorang biarawan Jerman yang lahir pada tahun 1483 M dan meninggal pada tahun 1546 M, mendominasi bidang penerjemahan melalui munculnya kecenderungan untuk menerjemahkan teks-teks agama ke dalam bahasa Jerman. Yang paling menonjol di antara karya-karyanya adalah terjemahan Alkitab ke dalam bahasa lokalnya daripada bahasa Latin. Dia juga membingkai beberapa konsep tentang prinsip-prinsip terjemahan dalam bukunya Letters about Translation. Sebagian besar minat untuk masalah penerjemahan dimunculkan oleh masalah yang melekat dalam menerjemahkan teks-teks agama (Al-Jaberi, 1431 AH (2010), hal. 3).

Pada abad ke-17 dan ke-18, konsep kebebasan seputar penerjemahan berlaku, dan era itu disebut Era Pengkhianatan Agung untuk Penerjemahan (The Era of Gran Treason for Translation) sehingga para penerjemah tidak keberatan untuk menyalahkan diri mereka sendiri tentang apakah makna teks yang tepat telah hilang atau tidak (Al-Jaberi, 1431 AH (2010), hal. 3).

Pada abad ke-19, sebagian besar prasasti tentang penerjemahan merupakan upaya untuk menunjukkan beberapa masalah penerjemahan dan menyelesaikannya dengan meletakkan aturan ringkas yang harus diikuti oleh penerjemah.

Kemudian, pada abad ke-20, terjemahan tumbuh seiring dengan perluasan hubungan politik, komersial, dan budaya antara negara dan individu. Terjemahan sebelumnya tidak menempati posisi ini karena pentingnya bagi kehidupan manusia kontemporer, dan ini adalah cara ajaib yang menghubungkan antara orang-orang dan bangsa-bangsa di sepanjang sejarah manusia (Al-Jaberi, 1431 H (2010), hal. 3).

2.2 Penerjemahan dan Agama

Penerjemahan adalah kegiatan linguistik yang menempati tempat penting dalam pembangunan ilmu pengetahuan umat manusia, baik secara lisan maupun tulisan. Penerjemahan berperan sebagai mediator di antara dua bahasa yang berbeda. Budaya dan bahasa tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Bukan saja di era modern, tetapi telah dikaitkan sejak zaman kuno berkaitan kebutuhan komunikasi. Ini merupakan bentuk kebijaksanaan Allah bahwa Dia menciptakan manusia di bumi bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, dan Dia membuat mereka saling mengenal satu sama lain (Al-Ghazali, 2016, par. 1).

Sepanjang sejarah, penerjemahan adalah pilar peradaban dan dasar Renaissance. Di Zaman Renaissance, aktivitas penerjemahan meningkat dan berkembang pesat. Ada banyak motif dan tujuan politik, budaya, ilmiah, sosial, agama, dll. dalam penerjemahan (Al-Jaberi, 1431 AH (2010), hal. 10).

Penerjemahan tidak hanya untuk mentransfer teks dari satu bahasa ke bahasa lain, baik secara lisan atau dalam bentuk tertulis, tetapi juga menghubungkan dua budaya yang berbeda sehingga dapat menembus batas kebahasaan yang mencegah kemungkinan komunikasi dan pemberdayaan dalam membaca budaya lain. Setiap budaya memiliki spesifikasi dan karakteristiknya sendiri yang membuatnya berbeda dari yang lain. Jadi, penerjemahan adalah alat untuk menyebarkan budaya dan sarana untuk mengetahui ide orang lain seutuhnya (Al-Ghazali, 2016, par. 2). 

Sebagai sarana komunikasi, penerjemahan menjembatani kesenjangan antar negara, dan juga membangun kepercayaan di antara para pengikut agama yang berbeda. Selain itu, dapat membantu menyebarkan cinta dan kerja sama di dunia ini (Al-Ghazali, 2016, par. 7).

Jika penerjemahan memainkan peran kunci untuk menghubungkan budaya dan peradaban, maka tidak ada keraguan bahwa menerjemahkan teks-teks agama tidak kalah pentingnya untuk memainkan peran yang sama. Sebenarnya, penerjemahan teks agama masih memiliki banyak tantangan dan masalah kontroversial untuk diperdebatkan di bidang terjemahan, terutama di masa konflik ideologis dan budaya, sehingga penerjemahan teks agama bertujuan untuk mengetahui dan memahami agama-agama lain baik untuk mempertahankan atau menyerang mereka, yaitu mendebat mereka dalam berkhotbah atau untuk kontroversi agama. (Translation and Religious Texts, 2009, par. 1).

Tidak diragukan lagi, penerjemahan istilah dan konsep keagamaan secara akurat sangat penting bagi mereka yang mempertimbangkan keakuratan dalam penerjemahan dan mencoba mentransfer makna kepada pembaca yang disasar dengan benar, bahwa mereka menarik stok linguistik dan budaya untuk bahasa target karena mereka adalah anteseden kunci untuk kesuksesan penerjemahan (Religious Translation, 2013, par. 2).

Menerjemahkan teks-teks agama membantu menjembatani kesenjangan antara bangsa-bangsa. Mentransfer pemikiran keagamaan yang benar mampu membuat koneksi di antara orang-orang di dunia, bukan justru ketidakharmonisan dan ketakutan yang ditonjolkan terutama antara dunia Islam dan Barat bahwa layak bagi mereka untuk saling menjadi pelengkap untuk mencapai kebaikan bagi seluruh umat manusia daripada memperluas konflik (Al-Ghazali, 2016, par.7). Penerjemahan agama memainkan peran penting dalam menjadikan budaya universal dan umum. Tentu terdapat kepentingan besar di dunia saat ini sehingga merupakan sarana untuk lebih mendekatkan pesan Islam bagi mereka yang tidak berbicara dalam bahasa Arab. Hal ini juga sebuah nilai pemulihan dan nilai-nilai keberadaan antara satu dengan yang lain.

Penerjemahan teks-teks keagamaan telah menjadi elemen kunci dalam menyebarkan pesan ilahiah sepanjang sejarah. Selain itu juga digunakan untuk pengajaran dalam mengkonversi dasar-dasar agama dan untuk mencerminkan keindahan iman dan moralitas di seluruh dunia (Elewa, 2014, hal. 25 ). Karena penerjemahan adalah instrumen yang kuat untuk tujuan misionaris, maka harus benar dan seakurat mungkin dan harus sesuai dengan hak kepercayaan agama. Untuk melakukan ini, penerjemah harus memahami teks asli dan menerjemahkannya dengan amanah ​​dan jujur ​​ke bahasa target, tanpa distorsi bagian mana pun dari konten asli (Elewa, 2014, hal. 25).

Hukum Islam beredar di antara orang-orang yang tidak berbicara bahasa Arab melalui penerjemahan. Sebuah jembatan komunikasi yang dibangun oleh penerjemahan teks keagamaan untuk memudahkan dan menyampaikan pemikiran keagamaan adalah penyokongan bagi persatuan dunia sebagai alternatif disonansi dan ketakutan di antara dunia Arab dan Islam.

Teks-teks keagamaan dapat dipahami dalam dua pengertian yang sangat berbeda: (1) teks-teks yang membahas keyakinan dan praktik keagamaan secara historis maupun masa kini dari komunitas yang beriman, (2) teks-teks yang sangat penting dalam memunculkan komunitas yang beriman (Nida, 1994, par 11).

Penerjemahan teks keagamaan adalah salah satu jenis penerjemahan yang paling problematis, karena berhubungan dengan teks-teks khusus yang memiliki kesakralannya sendiri (Al-Harahsheh, 2013, hal. 108). Teks-teks suci ini sensitif, karenanya; ada kesulitan menerjemahkannya ke bahasa lain. Penerjemah mungkin kehilangan makna yang benar dari teks sumber, atau teks itu dapat berubah, karena pengaruh ideologi penerjemah pada terjemahannya. Beberapa penerjemah memiliki agama atau budaya yang berbeda sehingga mereka dapat salah memahami makna teks dalam bahasa sumber, karena mungkin bukan bahasa asli mereka (Al-Harahsheh, 2013, hal. 108).

2.3 Keterampilan yang Diperlukan untuk Menerjemahkan Teks Keagamaan

Penerjemahan teks-teks keagamaan yang sakral adalah salah satu topik penting yang menjadi perhatian banyak peneliti dan profesional di bidang antaragama, terutama dalam mengirim pesan keagamaan bagi masing-masing orang dalam bahasa yang mereka ucapkan, bukanlah tugas yang mudah. Penerjemahan teks sedemikian mengharuskan penerjemah untuk memenuhi syarat; yaitu memiliki seperangkat kondisi dan spesifikasi, termasuk keakraban dengan bahasa teks sumber dan bahasa teks target. Menerjemahkan teks-teks keagamaan tanpa syarat-syarat ini membuat penerjemah membuat banyak kesalahan yang mengubah makna teks (Translation and Sacred Texts, 2012, par. 5).

Seorang penerjemah teks-teks keagamaan harus memiliki pengalaman yang sangat baik di bidang ini, karena ia terlibat dalam penerjemahan yang sensitif, yang tidak dapat mentolerir kesalahan, perlu akurasi, kesabaran, dan perawatan yang dibiyayai oleh para cendekiawan/ulama. Misalnya, menerjemahkan Al-Qur’an membutuhkan dua keterampilan tinggi; harus ada keakraban dengan masalah-masalah agama secara umum dan interpretasi Al-Quran pada khususnya. Selain itu, kemampuan linguistik harus sangat tinggi (Muhammad, hal. 70).

Penerjemah adalah suatu elemen pusat dalam proses penerjemahan. Perannya sangat penting dalam proses penerjemahan sehingga ia menjadi bagian dari lingkungan budaya di mana ia tinggal (Yusuf, par. 1). Kadang-kadang, penerjemah mungkin tidak dapat menggunakan kata-kata secara tepat karena mereka tidak dapat mencakup arti keagamaan yang sebenarnya dalam kedua bahasa. Namun, dalam arti sebenarnya, ia harus membuat formula baru untuk mentransfer konsep yang diungkapkan oleh bahasa asli; yaitu, penerjemah harus fasih dalam kedua bahasa yang ia tangani (Yusuf, par. 2). 

Selain itu, ia harus memahami makna yang peka dan sensitif, nilai-nilai dan kata-kata emosional yang penting, dan karakteristik gaya yang menentukan cita rasa dan nuansa pesan, karena ia harus berpengalaman dalam aturan-aturan yang berlaku dalam bahasa target, dan mungkin sebagian besar kesalahan yang dilakukan penerjemah timbul terutama dari kurangnya pengetahuan yang komprehensif tentang bahasa target. Selain itu, ia harus waspada dengan tema yang ia terjemahkan (Yusuf, par. 5-6).

Selain itu, pengetahuan komprehensif penerjemah tentang sumber dan bahasa target, topik yang ia terjemahkan. Tekad psikologis yang nyata tidak menjamin keberhasilan menerjemahkan teks secara efisien kecuali ia menikmati dalam arti sastra (Yusuf, par. 7). Jika penerjemahan adalah seni, penerjemah adalah seniman yang menciptakan seninya dan menjadikannya bermakna dan bermanfaat (Aamer, hal. 5).

3.0 Penerjemahan dan Islam

Perhatian Islam pada penerjemahan memiliki tujuan yang lebih jauh daripada bidang lainnya. Sasaran ini adalah eskatologi yang muncul dari perkataan Allah: “Sesungguhnya orang yang terbaik untuk kamu pekerjakan adalah (manusia) yang kuat dan dapat dipercaya” (Al-Qasas: 26). إن خير من استئجرت القوي الأمين” (القصص: 26). 

Yang kuat di sini mewakili pengetahuan penerjemah untuk bahasa sumber dan bahasa target yang memungkinkan untuk memahami makna yang dimaksudkan dan untuk mentransfernya dalam istilah yang sesuai ke bahasa target. Sedangkan trusty berarti tanggung jawab seorang penerjemah tentang apa yang ditransfer sehingga ia takut akan Allah dalam menyampaikan pesan Islam (Yusuf, par. 4).

Penerjemahan teks-teks ini tidak belajar bahasa untuk keinginan informasi atau keperluan, tetapi ia bertanggung jawab untuk panggilan ke agama ini (yaitu Islam). Jadi, dia harus memiliki niat jujur ​​untuk menyempurnakan bahasa dan terjemahan dengan benar (Yusuf, par. 4).

Penerjemahan adalah salah satu seni elegan yang memiliki aturan khusus dan sarana khusus seperti kebanyakan seni lainnya. Ada persyaratan dan kualifikasi bagi mereka yang melakukan penerjemahan. Kegiatan ini merupakan sarana untuk menyampaikan peradaban, adat istiadat dan tradisi dunia dari suatu bahasa ke bahasa lain, juga merupakan cara untuk berurusan dan melakukan kolaborasi hubungan komersial, industri, militer dan diplomatik antara dua negara atau lebih. Penerjemahan juga merupakan cara untuk mengembangkan bahasa dan untuk mengangkut konsep, sastra, seminar, dan konferensi kepada pembaca dan pendengar (Numani, 2006, hal. 185).

Penerjemahan adalah salah satu cara terpenting untuk menyeru kepada Allah dan penyebaran Islam di antara umat manusia (Numani, 2006, hal. 185). Kegiatan ini merupakan salah satu tahap pertama bagi gerakan ilmiah Islam dan awal dari sejarah sains di peradaban Arab selama era Abbasiyah, yaitu periode Khalifah Harun Ar-Rasheed, Khalifah Abi-Ja’fer Al-Mansur dan Khalifah Al-Ma’mun. Di era itu, ada penerjemah yang memikul tanggung jawab pengangkutan tradisi umat manusia yang ada, ke dalam Bahasa Arab yang merupakan bahasa ilmu pengetahuan pada periode itu. (Ghaneema, 2007, par. 2).

Sebelum Islam, orang-orang Arab melakukan kontak dengan orang-orang lain di sekitar mereka. Mereka adalah orang Romawi di utara dan orang Persia di timur, orang Mesir di barat dan orang Ethiopia di selatan. Sulit membayangkan hubungan sastra dan ekonomi ini tanpa penerjemahan bahkan di tahap awal sekalipun.

Hingga pada periode Islam, beberapa jenis terjemahan tidak dihilangkan, sehingga nabi Muhammad (semoga damai dan berkah terlimpah padanya) merekomendasikan Zaid bin Tsabit untuk belajar Bahasa Syria, kemudian dia mempelajarinya, lalu belajar Bahasa Persia serta Romawi. Pada periode Amr ibn Al-Aas, ada kegiatan penerjemahan antara Yunani dan Arab (22 H, yaitu 643 M) (Projects of Translation in the Arab World, par. 3).

Penerjemahan adalah jembatan dasar untuk mentransfer ilmu dan pengetahuan di antara orang-orang. Hal tersebut juga langkah untuk menyampaikan perkembangan di antara peradaban (Projects of Translation in the Arab World, par. 1).

Diyakini bahwa melalui penerjemahan, peradaban Babilonia, Assyria, dan Mesir bertukar beberapa dokumen dan konvensi. Selain penulisan sastra dan dokumen intelektual, peradaban Yunani juga menerjemahkan dokumen-dokumen dan konvensi-konvensi ini, dan kegiatan-kegiatan kreatif lainnya dari peradaban oriental kuno sehingga para siswa dari peradaban itu (yaitu Yunani) dikirim ke Mesir, khususnya ke Aleksandria Lama yang memainkan peran historis penting melalui proses penerjemahan, karena di sana merupakan pusat ilmiah dan sastra pertama dalam sejarah manusia yang melibatkan siswa dan cendekiawan hebat 
dari berbagai negara di dunia kuno (Projects of Translation in the Arab World, par. 1)

3.1 Pertumbuhan Penerjemahan dalam Peradaban Islam

Terdapat dua pendapat tentang pertumbuhan penerjemahan dalam tradisi Islam: Pendapat pertama adalah bahwa akar dari gerakan penerjemahan yang pertama ke dalam bahasa Arab adalah pada awal periode Omayyad/Umayyah, sebagaimana dinyatakan dalam sumber-sumber bahwa Khalid bin Yazeed ibn Muaawiya dikirim ke Alexandria untuk mendapatkan beberapa buku kedokteran dan kimia untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, setelah ia meninggalkan suksesi dengan sukarela (Al-Sarjani, 2012, par. 1). 

Dalam bukunya (Al-Fahrist), ibn Al-Nadeem mengatakan bahwa telah dilaporkan bahwa Khalid bin Yazeed Muaawiya yang disebut hakeem Al Marwan (yaitu filsuf suku-suku Marwan) memerintahkan untuk membawa sekelompok filsuf Yunani yang menetap di Mesir dan berbicara dalam bahasa Arab. Ini yang diketahui merupakan kali pertama terjadinya transfer dari satu bahasa ke bahasa lain dalam masyarakat Islam. Ibn Khalkan menggambarkan Khalid, karena dia sebagai seorang yang dikenal di kalangan kabilah Qurayish (suku di Mekah) karena menguasai seni kimia dan obat-obatan (Al-Sarjani, 2012, par. 2). Ada penerus Omayyad yang menyelesaikan upaya penerjemahan setelah Khalid bin Yazeed, salah satunya adalah Omar bin Abd Al-Azeez (berkuasa pada 99-101 H), yang membawa bersamanya salah seorang cendekiawan dari sekolah di Alexandria ketika ia pergi ke Al-Madinah untuk suksesi yang bergantung padanya di bidang kedokteran. Khalifah Umar menyampaikan sekelompok ulama dari sekolah di Aleksandria ke Antiokhia pada tahun 100 H. Namun, hal itu tidak berarti bahwa kegiatan ilmiah sekolah di Alexandria dihentikan selama periode Abbasiyah (Al-Sarjani, 2012, par. 2)

Pendapat kedua adalah bahwa gerakan penerjemahan dimulai sudah sejak era nabi Muhammad (semoga damai dan berkah terlimpah padanya). Salah satu sosok yang paling terkenal dari Syria (Al-Sarjani, 2012, par 4) selama era itu adalah Zaid bin Thabit yang mempelajari bahasa lain dalam tujuh belas hari (Al-Ittihad, 2015, par. 2), ia juga belajar bahasa Persia dan Romawi. (Al-Sarjani, 2012, par. 4).

Naskah terjemahan tertua pada periode Islam kembali ke tahun 22 H. Yaitu tiga baris yang ditulis dalam bahasa Yunani bersama dengan terjemahannya dalam bahasa Arab. Penerjemahan masyarakat Islam yang muncul pada masa nabi Muhammad (semoga damai dan berkah terlimpah padanya), bertentangan dengan pendapat yang menyatakan dimulai selama periode Omayyad sebelumnya (Al-Sarjani, 2012, par. 4).

Gerakan penerjemahan ke dalam Bahasa Arab terus berlanjut dan meluas, menjadi lebih kuat di era Abbasiyah hingga menjadi sudut dari sudut politik pada periode itu sehingga upaya penerjemahan menjadi bagian dari masalah suatu bangsa. Sementara penerjemahan di periode Omayyad terbatas pada bidang kimia, kedokteran, dan astronomi, sedangkan melalui periode Abbasiyah semakin meluas hingga mencakup filsafat, logika, ilmu empiris, dan buku-buku sastra (Al-Sarjani, 2012, par. 5).

3.2 Masalah Penerjemahan Teks Keagamaan

Masalah kesulitan penerjemahan teks keagamaan berada di level puncak. Masalah-masalah ini kembali ke banyak alasan, termasuk fakta bahwa teks-teks agama, baik pada tingkat kata, frasa atau teks, didasarkan pada kualitas semantik; yaitu mereka mencirikan multiplisitas makna yang dapat diakomodasi oleh bahasa teks sumber. Hal ini membuat proses menemukan kesetaraan yang tepat dari bahasa target adalah masalah paling kompleks yang dihadapi penerjemah (Religious Texts, 2013, par. 1).

Masalah dan kesulitan penerjemahan diciptakan dari fakta bahwa suatu padanan makna dalam bahasa target mungkin tidak mentransfer pesan tertulis yang sama dalam bahasa sumber. Selain itu, template linguistik pesan yang ditampilkan dalam bahasa sumber berbeda dari yang ada di bahasa target, terutama jika informasi umum, dan asumsi antara pembaca dan penulis berbeda, terutama jika terjadi di antara dua bahasa yang berbeda sepenuhnya dalam aspek budaya mereka, semisal Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, sehingga tidak mudah untuk menerjemahkan dari Bahasa Arab ke Bahasa Inggris dan sebaliknya mengingat struktur dan pemasangan yang berbeda sepenuhnya dari kedua bahasa (Yusef, par. 2).

Mungkin, orang pertama yang menunjukkan kesulitan teknis dan konsekuensi serius yang muncul di hadapan orang-orang yang siap menghadapi aliran terjemahan agama adalah Al-Jahiz dalam bukunya Al-Hayawan. Dia menyatakan bahwa setiap kali isi (dari sebuah pengetahuan) lebih sulit, lebih sempit dan ilmunya kurang, lebih mungkin bagi penerjemah untuk berbuat kesalahan di dalamnya. Kemudian, pembaca tidak akan pernah menemukan penerjemah dari para ilmuwan ini. Masalah ini dihadapi oleh buku-buku teknik, astrologi, matematika, dll. Bagaimanapun, tentu tidak dapat diterima untuk berbicara dan bercerita berkenaan Allah dan kitab-kitab suci-Nya secara sembarangan. Kemudian, ia mengatakan bahwa kesalahan dalam suatu pemahaman agama lebih berbahaya daripada kesalahan-kesalahan tentang matematika, industri, filsafat, kimia, dll. yang anak-anak Adam hidup berkutat dengannya […] dan jika seorang penerjemah yang menerjemahkan teks tidak mampu untuk itu, ia akan salah sejauh penurunan tingkat kesempurnaan (Al-Mustafa, 2014, par. 1-2).

Penerjemah teks-teks keagamaan berkewajiban atas beberapa kualifikasi dan tanggung jawab agama dan moral yang memerlukan kemauan yang tinggi untuk kognisi, dan revisi dalam pekerjaan yang diterjemahkannya adalah kesalahan yang membuat orang-orang meninggalkan pekerjaannya. Hal ini dapat menyebabkan dia mendapat penyelidikan oleh pihak berwenang (Al-Mustafa, 
2014, par. 3).

3.3 Perlunya Penerjemahan dalam Islam

Penerjemahan di zaman nabi Muhammad (semoga damai dan berkah terlimpah padanya) muncul ketika diperlukan. Kemunculannya di periode itu pada berbagai kesempatan mengikuti perintah Allah dalam firman-Nya,

“Katakan: Hasilkan Taurat dan bacalah jika kamu benar (3: 93)” ” قل فأتوا بالتوراة فاتلوها إن كنتم صادقين “, (Pickthall, 2012, hal. 40), yang menerangkan tentang interpretasi Taurat dalam Bahasa Arab dan bahasa lainnya. Namun Taurat dibacakan dalam Bahasa Ibrani, dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk dibacakan bagi orang Arab yang tidak tahu bahasa itu; yaitu Bahasa Ibrani. 

Sekali lagi dalam sabda nabi (semoga damai dan berkah terlimpah padanya) yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya (kitab tradisi) dari Zaid bin Thabit yang mengatakan: “Nabi Allah (semoga damai dan berkah terlimpah padanya) memerintahkan saya untuk belajar kata-kata dari buku orang-orang Yahudi bahwa beliau berkata: “Ya Allah, saya tidak percaya pada seorang Yahudi di buku saya.” Zaid berkata: Saya tidak dapat menguasainya selama setengah bulan sampai saya mempelajarinya untuk beliau, sabda beliau ketika saya mempelajarinya; jika beliau menulis kepada orang-orang Yahudi, saya menulis kepada mereka, dan jika mereka menulis kepada beliau, saya membacakan untuk beliau” (Al-Aqeel, 1429 H (2008), hal. 3-4).

ما رواه أبو داود في سننه عن زيد بن ثابت, قال: أمرني رسول الله- صلى الله عليه وسلم- أن أتعلم له كلمات من كتاب اليهود, قال: إني والله ما آمن يهود على كتابي, قال: فما مر بي نصف شهر حتى تعلمته له ، قال: فلما تعلمته كان إﺬا كتب إلى يهود كتبت إليهم وإﺬا كتبوا إليه قرأت له كتابهم.

Selain itu, dalam hadits Rasulullah (semoga damai dan berkah terlimpah padanya) yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari ibn Abbas berkata: “Abu-Sufiyan mengatakan kepada saya bahwa Hercules memanggil penerjemahnya, kemudian dia meminta untuk membawa pesan nabi. Kemudian, dia membaca, “Dengan nama Allah, Yang Maha Pemurah, Penyayang, dari Muhammad, hamba Allah dan nabi-Nya untuk Hercules, dan orang-orang ahli kitab pada sebuah kata yang sama antara kami dan Anda (Al-Aqeel, 1429 H (2008), hal. 4).

في حديث النبي- صلى الله عليه وسلم- ما رواه البخاري عن ابن عباس- رضي الله عنهما- قال : أخبرني أبو سفيان: أن هرقل دعا ترجمانه ثم دعا بكتاب النبي- صلى الله عليه وسلم- فقرأه “بسم الله الرحمن الرحيم, من محمد عبد الله ورسوله إلى هرقل ، ويا ​​أهل الكتاب تعالوا إلى كلمة سواء بيننا وبينكم”.

Dalam hadits lain, diriwayatkan oleh Abu Hurairah (semoga Allah meridhoi-Nya) bahwa Rasul bersabda: orang-orang (Yahudi dan Kristen) dari kitab itu (Taurat dan Injil) membaca Taurat dalam Bahasa Ibrani dan mereka menginterpretasikannya dalam Bahasa Arab untuk orang Muslim. Kemudian, nabi Allah (semoga damai dan berkah terlimpah padanya) bersabda: Jangan memercayai orang-orang ahli kitab ini maupun tidak mempercayai mereka, namun, katakan: Kami percaya kepada Allah dan apa yang diwahyukan kepada kami” (terjemahan kami) (Al-Aqeel, 1429 H (2008), hal. 4)

وعن أبي هريرة- رضي الله عنه- قال: كان أهل الكتاب يقرؤن التوراة بالعبرانية ويفسرونها 
بالعربية لأهل الإسلام ، فقال رسول الله- صلى الله عليه وسلم-: لا تصدقوا أهل الكتاب ولا تكذبوها ولام 
أنزل إلينا.

Semua hadis ini menunjukkan perlunya penerjemahan dan kebutuhan untuk itu pada periode saat itu, dan berapa banyak saat ini diperlukan bahwa ada konvergensi dalam hubungan antar negara, pada saat multi-lingualisme, dan berapa banyak hak disembunyikan dan tidak terlalu jelas bagi muslim non-Arab. Juga, ada kehausan non-Muslim untuk mewujudkan Islam yang dapat diterima oleh Allah (Al-Aqeel, 1429 H (2008), hal. 4.)

Sejak era kenabian, Muhammad (semoga damai dan berkah terlimpah padanya) mendirikan negara Islam yang pertama, Ia memerintahkan para sahabatnya untuk belajar bahasa lain sehingga Ia memerintahkan Zaid bin Thabit untuk menulis surat untuk raja-raja dan membalas pesan mereka di hadapan sang nabi. Zaid menerjemahkan surat-surat untuknya dalam bahasa Persia, Romawi, dan Ethiopia yang ia pelajari dari penutur asli bahasa-bahasa ini. Dengan demikian, misi penerjemahan untuk tujuan penyebaran Islam dimulai sejak saat itu (Al-Humi, 2010, par. 2).

Umat ​​Muslim di masa awal tertarik mempelajari bahasa, mereka menyadari pentingnya komunikasi dengan dunia dan untuk menyeru masyarakat kepada Allah yang berada di luar jazirah Arab. Ketika mereka menjalankan perintah nabi (semoga damai dan berkah terlimpah padanya) dalam semua perkara agama mereka, mereka berkomitmen kepada perintah nabi untuk belajar bahasa lain, untuk menghindari kejahatan dari pembicara dari bahasa mereka, dan untuk penyebaran pesan Islam (Al-Humi, 2010, par. 4).

Pada periode ini, jumlah Muslim non-Arab meningkat dan sayangnya mereka tidak mengerti bahasa Arab yang diturunkan oleh Al-Quran. Mungkin, beberapa dari mereka dapat membaca literatme Quran, tetapi mereka tidak dapat memahami maknanya. Jadi, penerjemahan adalah satu-satunya cara untuk memberitakan agama Allah dengan benar (Al-Aqeel, 1429 H (2008), hal. 8).

3.4 Penerjemah Pertama dalam Islam

Penerjemah pertama dan salah satu penulis yang penuh inspirasi dalam Islam adalah Zaid bin Thabit Ad-Dahhak Al-Ansari dari bani An-Najjar. Ia dilahirkan di Madinah Al-Munawwarah pada tahun ke-12 sebelum Hijrah (Zaid bin Thabit, 2016, par. 1).

Ketika nabi Muhammad (semoga damai dan berkah terlimpah padanya) ber-hijrah ke Madinah, Zaid bin Thabit masih berusia di bawah 11 tahun. Sejak kecil, ia dikenal cerdas. Pada tahap berikutnya dari usianya di kemudian hari, ia adalah seorang cendekiawan dan awet kecerdasannya, yang disebutkan dalam Sahih Al-Bukhari bahwa Rasulullah (semoga damai dan berkah terlimpah padanya) memerintahkannya untuk belajar Bahasa Ibrani sehingga ia dapat membacakan pesan untuk nabi.

Dia mempelajarinya dalam lima belas hari, bahwa Zaid mengatakan “orang-orang dari suku saya membawa saya ke nabi (semoga damai dan berkah terlimpah padanya), kemudian mereka berkata: “Wahai nabi Allah; bocah ini dari Bani An-Najjar bahwa dia telah menghafal beberapa surah yang Allah utus bagimu,” maka nabi Allah menyukai itu dan berkata: “Wahai Zaid, pelajarilah buku Ibrani untukku. Saya tidak percaya orang-orang Yahudi di buku saya.” Kemudian, Zaid berkata: “Saya belajar buku mereka hanya dalam lima belas hari dan kemudian saya bisa membaca dan menulis untuknya, dan saya juga menulis jawabannya” (Al-Ittihad, 2015, par. 1).

Rasulullah (semoga damai dan berkah terlimpah padanya) meminta Zaid untuk belajar Bahasa Syria juga, kemudian dia mempelajarinya dalam tujuh belas hari (Al-Ittihad, 2015, par. 2). Zaid bin Thabit (semoga Allah ridho kepadanya) adalah salah satu penulis Al-Qur’an. Dia juga menulis beberapa surat bagi Rasulullah (semoga damai dan berkah terlimpah padanya) untuk berbagai raja dalam rangka mengajak mereka kepada Islam (Al-Ittihad, 2015, par. 3).

Pada awal-awal dakwah mengajak kepada Allah, ada beberapa sahabat nabi (semoga Allah ridho kepada mereka) yang menghafal Al-Qur’an, sementara yang lain menulisnya. Zaid bin Thabit adalah salah satu dari mereka yang bisa menghafal dan menulis Al-Qur’an (Al-Sarjani, 2006, par. 8).

Setelah kematian Rasulullah (semoga damai dan berkah terlimpah padanya), umat Muslim sibuk dengan perang Ar-Reddah di era khalifah Abu Bakr As-Siddiq. Dalam perang Yamamah, banyak martir adalah penghafal Al-Qur’an, sehingga Omar bin Al-Khattab dan Abu-Bakr As-Siddiq meminta untuk mengumpulkan Al-Quran sebelum kematian atau kesyahidan para penghafal. Khalifah Abu-Bakr As-Siddiq melakukan salat Istikharah dengan tujuan mengumpulkan Al-Quran, kemudian ia menginstruksikan Zaid bin Thabit untuk tugas besar itu. Dia mengumpulkannya dengan cara yang diatur (Al-Sarjani, 2015, par. 10-11).

Selama suksesi Othman bin Affan, Islam menerima orang-orang baru yang bahasa ibu mereka berbeda, kemudian Othman dan beberapa sahabat diperintahkan untuk menyatukan naskah Al-Quran yang benar di antara naskah-naskah menyimpang. Mereka dibantu oleh Zaid bin Thabit dalam menulis salinan terpadu Al-Qur’an ini sehingga mereka memanggilnya sang penulis nabi Allah. Sahabat-sahabat Rasul (semoga Allah ridho kepada mereka) sepakat bahwa pendapat (yaitu tentang salinan Al-Qur’an) dari Zaid adalah bukti, karena ia adalah salah satu sumber yang tetap dalam pengetahuan Islam (Al-Sarjani, 2015, par. 12-13).

Zaid bin Thabit meninggal di era Muawiyah (yaitu salah satu dari khalifah) pada 45 H, bahwa Abu Hurairah (salah satu sahabat Rasul) mengatakan setelah kematiannya: “Hari ini; cendekiawan umat ini telah meninggal” (Al-Sarjani, 2015, par. 19).

4.0 Kehidupan Al-Imam An-Nawawi

Nama lengkap Al-Imam An-Nawawi adalah Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Sharaf bin Murri bin Hasan bin Hussein bin Muhammad bin Jumaa bin Huzam An-Nawawi As-Shafi’i (Biography of Al-Imam An-Nawawi, 2003, par. 10). Ia dilahirkan pada bulan Muharram, 631 H, di Nawa; sebuah tempat di dekat Damaskus, sehingga ia diberikan deskriptif nama An-Nawawi dari Nawa (Biography of Al-Imam An-Nawawi, 2013, par. 1-2).

Ketika Al-Imam An-Nawawi (semoga Allah merahmatinya) berusia sepuluh, ia mulai menghafal Al-Quran dan mempelajari fiqh. Pada 649 H, ia pindah ke Damaskus untuk menyelesaikan studinya di sekolah Dar Al-Hadits. Dia menetap di sekolah Rawaahiyah yang bersebelahan dengan Masjid Al-Omawi. Pada 651 H, ia berziarah dengan ayahnya, kemudian ia kembali pada usia dua puluh (Biography of Al-Imam An-Nawawi, 2013, par. 2). Al-Imam An-Nawawi adalah seorang cendekiawan pertapa dan banyak beribadah kepada Allah, ia tidak membuang-buang waktu kecuali untuk melakukan pengkajian. Bahkan saat dia berjalan di jalan atau kembali ke rumahnya, dia terus mengulangi apa yang dia hafal. (Ad-Dhahabi’).

Di Damaskus, Al-Imam An-Nawawi mempelajari banyak ilmu dari lebih dari dua puluh guru terkenal. Guru-guru ini dianggap sebagai master dan memiliki otoritas dalam bidang studi dan disiplin ilmu yang mereka ajarkan (Biography of Al-Imam An-Nawawi, par. 3). Al-Imam An-Nawawi menulis banyak buku tentang ilmu Hadits dan Fiqh, tiga buku yang paling terkenal dari koleksi karyanya adalah Al-AdhkarRiyad As-Saliheen dan Arba’in An-Nawawi (Empat Puluh Hadits An-Nawawi). Dalam kepenulisannya, ia bergantung pada dalil-dali dari Quran dan sunnah (An-Nawawi, 1992, hal. 32).

Pada 676 H, Al-Imam An-Nawawi kembali ke kota asalnya, Nawa. Di sana, dia jatuh sakit, kemudian dia meninggal pada tanggal 6 Rajab, 676 H (Zarabozo, hal. 46). Dia hidup hanya empat puluh lima tahun, tetapi dia adalah seorang cendekiawan dan ahli hukum. Oleh karena itu, ibn Katheer (Biography of Al-Imam An-Nawawi, par. 5) mengatakan bahwa Al-Imam An-Nawawi adalah Syekh (master) dari madzhab dan ia adalah cendekiawan terbesar pada masanya (Biography of Al-Imam An-Nawawi
par. 5).

4.1 Hadits Empat Puluh An-Nawawi

Empat puluh Hadits yang dikumpulkan An-Nawawi adalah kompilasi yang mencakup empat puluh dua hadits yang disabdakan oleh Rasulullah (semoga damai dan berkah terlimpah padanya). Meskipun jumlahnya bukan empat puluh melainkan empat puluh dua, namun mengikuti tradisi Arab, nama itu diberikan seperti sekarang; Empat Puluh. Hadits-hadits ini dinamai dengan nama ini yang berkaitan dengan pengumpulnya; Al-Imam An-Nawawi. Dinamai juga olehnya; Empat Puluh dalam Bangunan Islam dan Aturan-aturan Ringkas (Al-Jabaan, hal. 23). Asal usul kompilasi ini adalah tatkala ibn Salah (Al-Jabaan, hal. 26) mengumpulkan dua puluh enam hadits di papan pengajarannya beserta penjelasannya, ia menamakannya Hadits yang Dapat [mudah] Dipahami. Kemudian, Al-Imam Al-Nawawi menambahkan enam belas, sehingga menyusunnya menjadi empat puluh dua hadis (Al-Jabaan, hal. 26).

Alasan di balik pemilihan hadits-hadits ini adalah bahwa hadits-hadits universal ini tampaknya memang universal dan bahwa para ahli sepakat bahwa studi Empat Puluh An-Nawawi mempelajari hal-hal besar dan beragam bagi umat Islam, seperti sudut-sudut Islam, sudut-sudut keimanan, masalah-masalah Islam; yaitu masalah-masalah hukum dan pelanggaran hukum, dll.

Oleh karena itu, Al-Imam An-Nawawi berbicara mengenai hal ini, ia menyatakan bahwa: “Para ulama (semoga Allah merahmati mereka) menyusun karya yang tak terhitung jumlahnya di bidang ini; semisal koleksi empat puluh hadis. Yang pertama saya tahu, adalah Abd Allah ibn Al-Mubarak, Muhammad ibn Aslam At-Toosee, dll.” Kemudian, dia berkata bahwa dia meminta kepada Allah bimbingan-Nya, dan dia berdoa kepada-Nya ketika dia menyusun empat puluh hadis berikut, mengikuti contoh para ulama (Al-Jabaan, hal. 26-27).

Mengikuti tradisi sebagian besar cendekiawan/ulama agama (semoga Allah merahmati mereka), Hadits An-Nawawi ini dimulai dengan hadits ini: “Sesungguhnya amal bergantung dari niatnya [….]”; “[….] إنما الأعمال بالنيات” sehingga Al-Imam As-Shafi’i dan Al-Imam Ahmad (keduanya dikenal empat ulama besar dan ahli hukum) sepakat bahwa hadits ini mewakili sepertiga pengetahuan Islam (Badi, 2002, hal. 5).

4.2 Kritik atas Terjemahan Hadis Empat Puluh An-Nawawi

“Kritik penerjemahan adalah studi sistematis, evaluasi, dan interpretasi dari beragam aspek karya terjemahan” (Translation Criticism, 2016, par. 1). Kebanyakan orang berpikir bahwa kritik dan analisis penerjemahan seharusnya hanya tentang hal-hal negatif dalam karya, namun mengeksplorasi aspek-aspek positif juga merupakan wujud kritik. “Salah satu tujuan kritik penerjemahan adalah untuk meningkatkan kesadaran akan kelezatan yang terlibat dalam terjemahan dan untuk mengeksplorasi apakah penerjemah telah mencapai tujuannya atau tidak” (Translation Criticism, 2016, par. 2).

Kritik penerjemahan mengukur sejauh mana penerjemah sesuai dengan penerjemahan yang benar dan lengkap untuk keseluruhan teks. Ini bukan penerjemahan kata-demi-kata, tetapi penerjemahan dari sebuah ekuivalensi verbal tanpa menambah atau mengabaikan (Translation Criticism, 2013, par.1). Salah satu poin paling penting yang harus diukur melalui analisis dan kritik penerjemahan adalah paritas linguistik, yaitu penggunaan tingkat linguistik bahasa target setara dengan tingkat bahasa dalam bahasa sumber. Pengkritik penerjemahan juga menganalisis signifikansi verbal dan morfologis dari suatu kata dalam teks asli dan membandingkannya dengan apa yang dipilih penerjemah dalam bahasa target (Translation Criticism, 2013, par. 3).

Analisis ini juga membedakan antara sinonim dan kata-kata yang serupa, misalnya, Bahasa Arab secara khusus menjelaskan makna dan spesialisasi artikulasi yang akurat. Meskipun, ada beberapa kata yang konvergen dalam maknanya, tetapi ada perbedaan yang meng-karakterisasi setiap kata dari yang lain menurut penggunaan (Translation Criticism, 2013, par. 4). Selain itu, gaya penulisan penting dalam kritik dan analisis. Keduanya adalah salah satu fitur paling menonjol yang membedakan teks. Penerjemah harus menyadari gaya yang digunakan penulis / pembicara untuk mengilustrasikan gambar yang akurat dari teks asli (Translation Criticism, 2013, par. 6).

Kualitas penerjemahan terkait erat dengan penerjemah, setiap kali kemampuan bahasa dan tingkat pengetahuannya diperluas, ia dapat menguasai metode penerjemahan dan lulus dengan tingkat kemahiran tertinggi (Translation Criticism, 2013, par. 7).

4.3 Analisis Terjemahan Empat Puluh Hadith An-Nawawi

Tidak cukup bagi penerjemah ahli dalam kedua bahasa; yaitu bahasa sumber dan bahasa target, untuk menerjemahkan teks-teks Al-Quran dan teks kenabian. Telah diketahui bahwa setiap sains / ilmu pengetahuan memiliki istilahnya sendiri, oleh karena itu; tidak cukup hanya dengan mengetahui makna linguistik dari kata-kata ini, penerjemah dari Sunnah Nabi harus fasih dengan agama dan dasar-dasar agama secara umum serta istilah-istilah yang sering digunakan dalam ilmu-ilmu pendukung (Waiet, hal. 7). Penerjemah juga harus memiliki kemampuan untuk mentransfer istilah agama ke bahasa target dengan jelas.

Dengan tidak adanya kemampuan ini, ia tidak dapat menerjemahkan Sunnah Nabi dengan benar. Penerjemah yang menerjemahkan sabda Nabi Muhammad (semoga damai dan berkah terlimpah padanya), ke bahasa target, menyampaikan makna hadits, oleh karena itu ia terlihat sebagai narator hadis yang mematuhi makna (Waiet, hal. 8).

Analisis terhadap Hadits Empat Puluh An-Nawawi didasarkan pada dua teks yang harus memiliki ekspresi semantik yang sama dalam bahasa sumber dan bahasa target, serta didasarkan pada aturan tata bahasa kedua bahasa. Meskipun ada perbedaan dalam struktur morfologis dan sintaksis di antara mereka. Perbedaannya juga dalam pikiran-pikiran dan budaya (Al-Fawadi, par. 4).

Kritik terhadap teks yang diterjemahkan juga merupakan perbandingan antar terjemahan untuk menunjukkan tingkat penguasaan atau ketipisan karya terjemahan, dan untuk memperjelas kesempurnaan penerjemahan untuk dapat ditingkatkan dengannya dan untuk menemukan kelemahan untuk menghindarinya (Al-Fawawdi, par. 4).

Analisis dan kritik terhadap terjemahan Hadits An-Nawawi di sini dikenakan pada tiga sumber terjemahan yang berbeda. Penelitian ini mempelajari sampel spesifik dari hadits-hadits yang mencakup masalah perbandingan dengan baik. Seperti disebutkan sebelumnya dalam bab ini, kritik tidak hanya mencakup sisi negatif, tetapi juga mencakup sisi positif.

4.4 Berurusan dengan Hadits yang Lemah (Daif)

Empat Puluhan (Al-Arbaeenat) adalah sejenis buku-buku hadits yang mencakup empat puluh hadits tentang Nabi Muhammad (semoga damai dan berkah terlimpah padanya) (Al-Arbaeenat, 2014, par. 1). Empat Puluhan ini terjadi yang bergantung pada perkataan Rasulullah (semoga damai dan berkah terlimpah padanya): “Barangsiapa yang menghafal dan memelihara bagi umat-ku empat puluh hadits yang berkaitan dengan agamanya, Allah akan membangkitkan dia pada Hari Pengadilan sebagai seorang yang faqih”. [diriwayatkan dari Ibn Abbas, Anas dan Abu-Hurairah (RA)];

من حفظ على أمتي أربعين حديثا من أمر دينه بعثه الله يوم القيامة فقيها عالما

Bahwa para cendekiawan mengumpulkan 40 hadits baik Nabawi atau Qudusi tentang sebuah persoalan dalam Islam yang sesuai dengan tujuan untuk mengumpulkannya (Al-Jabaan, hal. 4).

Kompilasi ini berbeda dari satu motif ke motif lainnya; yaitu tentang masalah yang berbeda. Orang pertama yang menyusun buku-buku ini adalah Al-Imam Abd-Allah bin Al-Mubarak Al-Handhali (Al-Jabaan, hal. 7). Penyebab di balik penyusunan seperti buku-buku ini mendukung tiga hal; hal pertama tergantung pada ulama pada hadits ini: “Siapa yang menghafal dan memelihara […]”; “[….] من حفظ على أمتي “, yang kedua adalah intimasi dan deklarasi hadits Rasulullah (semoga damai dan berkah terlimpah padanya) untuk umat Islam dan yang ketiga adalah mengikuti para ulama yang mengumpulkan empat puluhan ini, seperti Al-Imam An-Nawawi dan mereka yang mendahuluinya (Al-Jabaan, hal. 7-8).

Sebagian besar ulama tertarik dengan hadits sebelumnya sehingga hadits ini diriwayatkan oleh banyak sahabat Rasulullah (semoga damai dan berkah terlimpah padanya); ibn Abbas, Anas bin Malik, Abu-Hurairah, ibn Omar, dll. (Al-Jabaan, hal. 9). 

“Barangsiapa menghafal dan memelihara untuk umat-ku empat puluh hadits yang berkaitan dengan Sunnah dan ia menyampaikannya kepada mereka, pada hari penghakiman aku akan menjadi pemohon syafaat atau saksi baginya”. [diriwayatkan dari ibn Omar (RA)].

“من حفظ على أمتي أربعين حديثا من السنة حتى يؤديها إليهم كلت له شفيعا أو شهيدا يوم القيامة”.

“Siapa pun yang memelihara dariku kepada umatku yang datang setelahku empat puluh hadits, dia akan ditulis dalam kumpulan ulama dan dia akan dibangkitkan dengan kelompok syuhada”. [diriwayatkan dari ibn Omar].

“من نقل عني إلى من يلحقني من أمتي أربعين حديثا كتب في زمرة الشهداء وحشر في جملة الشهداء”.

Sebagian besar ulama sepakat bahwa hadits ini lemah (daif) bahkan jika diriwayatkan oleh perawi yang berbeda (Al-Khadhir, 2014, par. 2). Al-Imam An-Nawawi mengatakan dalam pengantar bukunya Hadis Empat Puluh An-Nawawi tentang hadits ini dan bagaimana ia bergantung padanya dalam mengumpulkan empat puluh hadits:

“Para ahli sepakat untuk diizinkan menggunakan hadits yang lemah (daif) untuk kebajikan karya (yaitu karya-karya keagamaan). Namun, ketergantungan saya bukan pada hadits ini, tetapi pada perkataan Nabi Muhammad (semoga damai dan berkah terlimpah padanya) dari hadits yang benar; “Biarkan dia yang hadir di sini menyampaikan (pesan ini) kepadanya yang tidak hadir” (Riyad As-Saleehin); “ليبلغ الشاهد منكم الغائب” dan semoga Allah bersukacita dengan seseorang yang mendengar pepatah saya sehingga menghafalkannya dan kemudian menyampaikannya kepada ” نضر الله امرأ سمع مقاااان “.” (Al-Khadhir, 2014, par. 2-3).

5.0 Model-model Penerjemahan dari Hadits Empat Puluh An-Nawawi

Bab ini memberikan studi praktis tentang terjemahan delapan hadits dari Bahasa Arab ke Bahasa Inggris, dalam 3 hasil terjemahan berikut:

  1. Al-Nawawi’s Forty Hadiths, Sidheeque M. A. Veliankode, 2001.
  2. ShurhArba’een Al-Nawawi – Commentary of Forty Hadiths of Al-Nawawi, Jamal Ahmed Badi, 2002.
  3. Translation of Al-Nawawi’s 40 Hadiths.

5.1.1 Hadis No. 1

الحديث الأول: إنما الأعمال بالنيات

(عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب – رضي الله عنه – قال: سمعت رسول الله -صلى الله عليه وسلم – يقول:.” إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله , ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه “

رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبه البخاري و أبو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة ).

Hadits Pertama

Amal Bergantung pada Niatnya

I. Terjemahan Pertama

On the authority of the Commander of Faithful Abu Hafs Umar ibn al-Khattab t who said: I heard the Messenger of Allah r say: “Actions are but by intention and every man shall have but by that which intended. Thus he whose migration was for Allah and His Messenger, his migration was for Allah and His Messenger, and he whose migration was to achieve some worldly benefit or to take some woman in marriage, his migration was for that for which he migrated.”

It was related by the two Imams of scholars of Hadith, Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughira ibn Bardizbah al-Bukhari and Abu ‘l-Husain Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim al-Qushairi an-Naisaburi, in their two Sahihs, which are the soundest of the compiled books.

II. Terjemahan Kedua

It is narrated on the authority of Amirul Mu’minin, Abu Hafs ‘Umar bin al-khattab, radiyallahu ‘anhu who said: I heard the Messenger of Allah, sallallahu ‘alayhi wasallam, say: “Actions are judged by motives (niyyah), so each man will have what he intended. Thus he whose migration (hijrah) was to Allah and His Messenger, his migration is to Allah and His Messenger, but he whose migration was for some worldly thing he might gain, or for a wife he might marry, his might is to that for which he migrated.”

[Al-Bukhari and Muslim]

III. Terjemahan Ketiga

On the authority of Omar bin Al-khattab, who said: I heard the messenger of Allah salla Allah u alihi wasallam say: “Actions are but by intentions and every man shall have but that which he intended. Thus he whose migration was for Allah and His messenger, his migration was for Allah and His messenger, and he whose migration was to achieve some worldly benefit or to take some woman in marriage, his migration was for that for which he migrated.” Related by Bukhari and Muslim.

Analisis

Dalam terjemahan pertama, penerjemah menggunakan frasa on the authority of the Commander of faithful; yaitu, nama panggilan untuk Omar bin Al-Khattab, daripada menggunakan transliterasi untuk itu; Amirul Mu’minin sebagaimana dalam terjemahan lainnya. Dia tidak menggunakan bentuk jamak untuk kata 

t dalam bahasa Arab. Terjemahan ini menggunakan kata kerja modal shall dengan subjek every man, meskipun paling sering digunakan dalam kalimat dengan dua kata ganti I dan we.

Pada bagian akhir dari hadits ini, ia menerjemahkan kata ( صحيحيهما ) their two Sahihs, tanpa menyatakan bahwa keduanya merupakan dua buku yang dinisbatkan pada dua ulama ini; al-Bukhari dan Muslim, yang digunakan untuk meriwayatkan hadits-hadits nabi (semoga damai dan berkah terlimpah padanya). Dia menerjemahkan dan menyajikan nama lengkap perawi seperti dalam teks Arab tidak seperti terjemahan kedua dan ketiga.

Terjemahan kedua, penerjemah mentransliterasikan nama panggilan Omar bin Al-Khattab. Dia mulai dengankata yang sama actions. Ia menggunakan kata motives daripada intentions sebagaimana yang digunakan pada terjemahan pertama, yang artinya ( نِيَّات ). Ia menggambarkan dua kata motives dan migration yang mentransliterasikannya menjadi niyyah dan hijrah. Penerjemah ini menggunakan preposisi to daripada for yang digunakan dalam terjemahan pertama dan ketiga karena dalam his migration is to Allah and His Messenger yang for merujuk pada tujuan yang dimaksudkan, sedangkan to merujuk pada sebuah gerakan, tindakan, atau kondisi. Ini menerjemahkan kata ( امرأة ) a wife daripada a woman. Dia menerjemahkan hanya nama keluarga narator/perawi; Al-Bukhari dan Muslim. Terjemahan ketiga, penerjemah tidak menerjemahkan nama panggilan Omar bin Al-Kattab ( أمير المؤمنين ). Terjemahan ini mirip dengan yang pertama kecuali penerjemahan frasa yang mengikuti Messenger dan Omar bin Al-Kattab; r dan t, yang menerjemahkan nama-nama narrator/perawi dari hadits, dan penulisan kata Messenger dalam huruf kecil.

Berikut adalah lanjutan studi praktis tentang terjemahan delapan hadits dari Empat Puluh An-Nawawi, dari Bahasa Arab ke Bahasa Inggris. Kali ini telah sampai pada hadits kedua.

5.1.2 Hadis No. 2

الحديث الثاني : بيان الإسلام والإيمان  والإحسان

عن عمر- رضي الله عنه- أيضا قال :

“بينما نحن جلوس مع رسول الله – صلى الله عليه وسلم- ذات يوم إذ طلع علينا رجل شديد بياض الثياب شديد سواد الشعر، لا يرى عليه أثر السفر، ولا يعرفه منا أحد، حتى جلس إلى النبي- صلى الله عليه وسلم- فأسند ركبتيه إلى ركبتيه، ووضع كفيه على فخديه و قال: يا محمد أخبرني عن الإسلام. فقال رسول الله – صلى الله عليه وسلم- : ” الإسلام أن تشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله، وتقيم الصلاة، وتؤتي الزكاة، وتصوم رمضان، وتحج البيت إن استطعت إليه سبيلا” قال: صدقت. فعجبنا له يسأله ويصدقه، قال: فأخبرني عن الإيمان قال: أن تؤمن بالله، وملائكته، و كتبه، و رسله، واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره قال: صدقت. قال: فأخبرني عن الإحسان. قال: أن تعبد الله كأنك تراه، فإن لم تكن تراه فإنه يراك، قال: فأخبرني عن الساعة. قال: ما المسؤول عنها بأعلم من السائل. قال: فأخبرني عن أماراتها. قال: أن تلد الأَمة ربتها، وأن ترى الحفاة العراة العالة رعاء الشاء يتطاولون في البنيان. ثم انطلق فلبثت مليا، ثم قال: يا عمر أتدري من السائل؟ قلت: الله ورسوله أعلم. قال: فإنه جبريل أتاكم يعلمكم دينكم” –  
رواه مسلم

Hadits Kedua

Bangunan Islam, Iman, dan Ihsan

I. Terjemahan Pertama

Also on the authority of Umar t who said:

One the day while we were sitting with the messenger of Allah r there appeared before us a man whose clothes were exceedingly white and whose hair was exceedingly black; no signs of journeying were to be seen on him and none of us knew him. He walked up and sat down by the prophet r. Resting his knees against his Knees and placing the palms of his hands on his thighs, he said: O Muhammad, tell me about Islam. The Messenger of Allah r said: Islam is to testify that there is no god but Allah and Muhammad is the Messenger of Allah, to perform the prayers, to pay the Zakat, to fast in Ramadan, and too make the pilgrimage to the House if you are able to do so. He said: You have spoken rightly, and we were amazed at him asking him and saying that he had spoken rightly. He said: Then tell me about Iman. He said: It is to believe in Allah, His angels, His books, His messengers, and the Last Day, and to believe in divine destiny, both the good and the evil thereof. He said: You have spoken rightly. He said: Then tell me about Ihsan. He said: It is to worship Allah as though you are seeing Him, and while you see Him not yet  truly He see you. He said: Then tell me about the Hour. He said: The one questioned about it knows no better than the questioner. He said: Then tell me about its signs. He said: That the slave-girl will give birth to her mistress and that you will see the barefooted, naked, destitute herdsmen competing in constructing lofty buildings. Then he took himself off and I stayed for a time. Then he said: O Umar, do you know who the questioner was? I said: Allah and His Messenger know best. He said: It was Gebriel, who came to you to teach your religion.” It was related by Muslim.

II. Terjemahan Kedua

Also on the authority of Umar, radiyallah anhu who said:

“While we were one day sitting with the Messenger of Allah, sallallahu alayhi wasallam, there appeared before us a man dressed in extremely white clothes and 
with very black hair. No traces of journeying were visible on him, and none of us knew him.

He sat down close by the prophet, sallallahu alayhi wasallam, rested his knee against his thighs, and said, O Muhammad! Inform me about Islam. “Said the Messenger of Allah, sallallahu alayhi wasallam, Islam is that you should testify that there is no deity save Allah and that Muhammad is His Messenger, that you should perform salah (ritual prayer), pay Zakah, fast during Ramadan, and perform Hajj (pilgrimage) to the House (the Ka’bah at Makkah), if you can find a way to it (or find the means for making the journey to it). ” said he (the man), ” you can truly.”

We were astonished at his thus questioning him and telling him that he was right, but he went on to say, “Inform me about iman (faith).” He (the Messenger of Allah) answered, ” It is that you believe in Allah and His angels and His Books  and His Messengers and in the Last Day, and in fate (qadar), both in its good and its evil aspects. ” He said, ” You have spoken truly.”

Then he (the man) said, “Inform me about Ihsan. “He (the Messenger of Allah) answered, “It is that you should serve Allah as though you could see Him, for though you cannot see Him yet He sees you.” He said ” Inform me about the Hour.” He ( the Messenger of Allah) said, ” About that the one questioned knows no more than the questioner.” So he said, “Well, inform me about the signs thereof (i.e. of its coming).” Said he, ” They are that the slave-girl will give birth to her mistress, that you will see the barefooted ones, the naked, the destitute, the herdsmen of the sheep (competing with each other) in raising lofty buildings.” Thereupon the man went off.

I waited a while, and then he ( the Messenger of Allah) said, ” O Umar, do you know who that the questioner was?” I replied, ” Allah and His Messenger know better.” He said, ” That was Jibril. He came to teach you your religion.” [Muslim]

Terjemahan Ketiga

Also on the authority of Umar, who said: One day while we were sitting with the Messenger of Allah there appeared before us a man whose clothes were exceedingly white and whose hair was exceedingly black; no signs of journeying were to be seen on him and none of  us knew him. He walked up and sat down by the prophet. Resting his knees against his and placing the palms of his hands on his thighs, he said: ” O Muhammad, tell me about Islam”. The Messenger of Allah said: ” Islam is to testify that there is no god but Allah and Muhammad is the Messenger of Allah, to perform the prayers , to pay the zakat, to fast in Ramadan, and to make pilgrimage to the House you are able to do so”. He said: ” You have spoken rightly” , and we were amazed at him asking him and saying that he had spoken rightly. He said: ” Then tell me about eman”. He said: ” It is to believe in Allah, His angels, His books, His Messengers, and the Last Day, and to believe in divine destiny, both the good and the evil thereof “. He said you have spoken rightly”. He said: ” Then tell me about ehsan”. He said: ” It is to worship Allah as though you are seeing Him, and while you see Him not yet truly He sees you”. He said: ” Then tell me about the Hour”. He said: ” The one questioned about it knows no better than the questioner “. He said: ” Then tell me about its signs.” He said: ” That the slave-girl will give birth to her mistress and that you will see the barefooted, naked, destitute herdsmen competing in constructing lofty buildings.” Then he took himself off and I stayed for a time. Then he said: ” O Omar, do you know who the questioner was? ” I said: “Allah and His messenger know best”. He said: “He was Jebreel (Gabriel), who came to you to teach you your religion.” Narrated by Muslim.

Analisis

Dalam terjemahan pertama, penerjemah memulai dengan kata (also); yaitu menunjukkan keberadaan hadits lain yang disebutkan sebelum hadits ini; yaitu hadits kedua dari kompilasi hadits An-Nawawi ini. Penerjemah menggunakan cara dan gaya yang dapat membuat hadits ini diterjemahkan tidak dengan semestinya, misalnya, ia menulis kata (messenger) dalam huruf-huruf kecil, meskipun kata ini merujuk pada Nabi Muhammad, salam sejahtera bagi-nya. Juga, kata ganti his dalam dua frase his tighs dan his knees. Dia juga membiarkan frasa صلى الله عليه وسلم tidak diterjemahkan, meskipun frasa ini mungkin tidak jelas untuk pembaca non-Arab. 

Beberapa kata dalam hadits ini seperti زكاة , إيمان , إحسان , dll. Adalah istilah agama yang ditransliterasikan ke dalam Zakat, Iman, Ihsan, masing-masing tanpa ilustrasi dalam Bahasa Inggris. Selain itu, penerjemah di sini juga tidak menggunakan tanda baca dengan sempurna. Para peneliti melihat bahwa terjemahan ini menggunakan kata-kata yang sudah dikenal yang membantu pembaca memahami makna hadits yang dimaksud, seperti menggunakan kata god alih-alih kata lain yang digunakan dalam banyak agama. Dalam kalimat terakhir, penerjemah menggunakan kata best alih-alih better yang berarti Allah dan Rasul-Nya (salam sejahtera baginya) paling tahu, dan tidak ada perbandingan antara mereka (yaitu Allah, Rasul, dan manusia).

Dalam terjemahan kedua, penerjemah mulai dengan kata yang sama (also) bahwa kompilasi hadis An-Nawawi ini telah pasti dalam penyajiannya. Penerjemah ini menerjemahkan beberapa kata dalam hadits ini yang mungkin tidak dipahami dengan baik, misalnya kalimat: (peace and Blessing be Upon Him) diterjemahkan sesuai dengan pengucapannya (sallallahu alayhi wasallam) yang ia terjemahkan dengan cara literal. Dia menulis kata (Messenger) dalam huruf kapital, sementara dia tidak menulis beberapa kata ganti dalam huruf kapital bahwa mereka kembali ke Nabi Muhammad (salam sejahtera baginya).

Dalam terjemahan ini, penerjemah tidak menerjemahkan beberapa kalimat dalam hadits, meskipun kata-kata ini penting dan tidak dipahami dalam konteks. Ia menjelaskan beberapa kata keagamaan, seperti Salah (ritual prayers), Hajj (pilgrimage), dan juga House yang memiliki makna (Ka’bah).

Penerjemah ini menggunakan penerjemahan literal yang dalam kalimat: ( فقال الرسول ) ia tidak berkonsentrasi pada aturan bahasa target untuk pertukaran subjek di tempat kata kerja. Dia juga menggunakan kata hubung (and) seperti dalam bahasa sumber (Bahasa Arab), seperti dalam kalimat: Allah and His angels and His books and His Messenger, dll. Penerjemah di sini menggunakan kata (better) daripada kata (best).

Dalam terjemahan ketiga, penerjemah memulai sebagaimana dua terjemahan sebelumnya. Kami memerhatikan bahwa ia tidak menerjemahkan kalimat: (May Peace and Blessing be Upon Him), meskipun itu adalah bagian dari hadits. Dia menggunakan dalam menerjemahkan kata-kata akrab proses, dan juga menggunakan tanda baca. Di sini, dia tidak menjelaskan kata-kata keagamaan untuk ilustrasi. Dia tidak menggunakan huruf kapital untuk kata ganti yang mengacu ke Nabi Muhammad (salam sejahtera baginya). Terjemahan ini mirip dengan terjemahan pertama dalam menggunakan kata-kata, dan cara terjemahan itu sendiri lebih dari yang kedua.

Berikut adalah lanjutan studi praktis tentang terjemahan delapan hadits dari Empat Puluh An-Nawawi, dari Bahasa Arab ke Bahasa Inggris. Kali ini telah sampai pada hadits ketiga, dengan menyajikan hadits nomor 6.

5.1.3 Hadis No. 6

الحديث السادس: الحلال بَيِّنٌ و الحرام بَيِّنٌ

عن أبي عبد الله النعمان بن بشير y قال: سمعت رسول الله r يقول: “إن الحلال بين, و إن الحرام بين, و بينهما أمور مشتبهات لا يعلمهن كثير من الناس , فمن اتقى الشبهات فقد استبرأ لدينه وعرضه, و من وقع في الشبهات وقع في الحرام, كالراعي يرعى حول الحمى يوشك أن يرتع فيه, ألا وإن لكل ملك حمى, ألا و إن لكل ملك حمى, ألا و إن حمى الله محارمه ألا و إن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله , و إذا فسدت فسد الجسد كله: ألا وهي القلب “. رواه البخاري و مسلم.

Hadits Keenam

Yang Halal itu Jelas dan Yang Haram itu Jelas

I. Terjemahan Pertama

On the authority of Abu Abdullah an-Nu’man the son Bashir, y who said: I heard the Messenger of Allah r says: “That which is lawful is plain and unlawful is plain and between the two of them are doubtful matters about which not many people know. Thus he who avoids doubtful matters clears himself in regard to his religion and honor, but he who fall into doubtful matters falls into that which is unlawful, like the shepherd who pastures around a sanctuary, all but grazing therein. Truly every king has a sanctuary, and truly Allah’s sanctuary is His prohibitions. Truly in the body there is a morsel of flesh which, if it be whole, all the body is whole and which, if it be deceased, all of it is deceased. Truly it is the heart.”  It was related by Bukhari and Muslim.

II. Terjemahan Kedua

On the authority of Abu Abdullah Al-Nu’man bin Bashir, radiyallahu anhuma, who said: I heard the Messenger of Allah, sallallahu’ alayhi wasallam, say: “Truly what is lawful is evident, and what unlawful is evident, and  in the between the two are matters which are doubtful which many people do not know. He who guards against doubtful things keeps his religion and honor blameless, and he who indulges in doubtful things indulges in fact in unlawful things, just as a shepherd who pastures his flock round a preserve will soon pasture them in it. Beware, every king has a preserve, and the things Allah has declared unlawful are His preserves. Beware, in the body there is a flesh, if it is sound, the whole body is sound, and if it is corrupt, the whole body is corrupt, and behold, it is the heart.” [Al-Bukhari and Muslim]

III. Terjemahan Ketiga

On the authority of Al-Numan bin Bashir, who said: I heard the messenger of Allah  say: “That which is lawful is plain and that which is unlawful is plain and between the two of them are doubtful matters about which not many people know. Thus he who avoids doubtful matters clears himself in regard to his religion and his honor, but he who falls into doubtful matters falls into that which is unlawful, like the shepherd who pastures around a sanctuary, all but grazing therein. Truly every king has a sanctuary, and truly Allah’s sanctuary is His prohibition. Truly in the body there is a morsel of flesh which, if it be whole, all the body is whole and which, if it be deceased, all of it is deceased. Truly it is the heart.” Narrated by Bukhari and Muslim.

Analisis

Mirip dengan hadits lain, hadits ini berbicara perkara Islam tentang hal-hal yang halal dan haram, dan bagaimana menghadapinya (Al-Blehad, par. 2).

Terjemahan pertama, penerjemah menerjemahkan kata ( أبي ) sebagai Abu daripada menerjemahkannya ke kata father yang sudah dikenal sehingga lebih mudah dipahami oleh pembaca. Dia mentransliterasikan nama ( النعمان ) tanpa artikel ( الـ ) seperti dalam Bahasa Arab. Penerjemah ini menggunakan kalimat yang panjang dalam terjemahannya seperti pada kalimat di between the two of them,sehingga lebih mudah untuk menyebutkan hanya di between the two. Beberapa kalimat tidak berurutan, seperti ia menerjemahkan frasa ( بن بشير ) ke son Bashir seperti dalam urutan bahasa Arab, bukan Bashir’s son atau the son of Bashir. Juga, dalam kalimat (لا يعلمهن كثير من الناس ) dia menerjemahkan not many people know daripada many people do not know. Dia menerjemahkan kata ganti seolah-olah hadits ini ditujukan kepada pria Muslim saja seperti dalam kalimat yang dia hindari, bahwa lebih baik menggunakan kata seperti whoever daripada he/she untuk pria dan wanita Muslim.

Penerjemah membuat frasa yang mengikuti nama-nama nabi (semoga Allah melimpahkan damai dan sejahtera padanya), dan sahabat-sahabat beliau dalam Bahasa Arab r dan t. Dia tidak menggunakan kata-kata yang jelas dalam beberapa kalimat, seperti kata ( بين ), dia menerjemahkannya menjadi plain daripada kata-kata yang akrab, seperti evidentobvious, dll. Juga, kata whole untuk ( صلحت ) daripada kata-kata umum, seperti sound yang lebih mudah dimengerti. Dia menerjemahkan nama ( البخاري ) Bukhari tanpa artikel ( الـ ), meskipun penerjemah ini menerjemahkan nama ini dalam artikel ( الـ ) Al-Bukhari dalam beberapa hadits, menunjukkan bahwa proses penerjemahan tidak sesuai dengan gaya buku ini.

Dalam terjemahan kedua, penerjemah menerjemahkan kata-kata ( أبي ) dan ( بن ) Abu dan bin alih-alih menerjemahkannya father dan son yang dipahami oleh pembaca. Dia mentransliterasikan frasa yang mengikuti nama-nama nabi (semoga Allah melimpahkan damai dan sejahtera padanya) dan sahabat-sahabatnya r dan t. Dia menggunakan beberapa kata yang jelas dan mudah dimengerti, seperti evident untuk ( بين ), sound untuk ( صلحت ), tetapi dia menggunakan beberapa kata yang tidak jelas, seperti kata guards untuk ( التقى ) daripada avoids, dan kata indulges untuk ( وقع ) daripada falls into seperti dalam terjemahan pertama dan ketiga. Bentuk negasi dalam kalimat yang many people do not know lebih mudah daripada terjemahan lainnya. Penerjemah ini mentransliterasikan nama ( البخاري ) dengan artikel ( الـ ), tetapi ia tidak menyebut perannya dan peran Muslim, bahwa mereka berdua adalah perawi/narrators untuk hadits ini.

Terjemahan ketiga, penerjemah menggunakan kata-kata yang sama dengan terjemahan pertama dalam proses penerjemahan. Dia tidak menerjemahkan atau mentransliterasikan frasa yang mengikuti nama-nama nabi (semoga Allah melimpahkan damai dan sejahtera padanya) dan sahabat-sahabatnya r dan t, dan dia juga tidak menerjemahkan nama lengkap untuk ( أبوعبدالله النعمان بن بش رشير ) Al-Numan bin Basheer. Ia menggunakan aturan menambahkan –s ke kata kerja tunggal orang ketiga dalam present tense, seperti dalam saysavoidsfalls, dll. Terjemahan ini lebih baik daripada terjemahan pertama dan kedua yang mana para penerjemah tidak berfokus pada aturan penambahan –s orang ketiga dalam semua kata kerja. Penerjemah ini tidak menerjemahkan nama ( البخاري ) dengan artikel ( الـ ) seperti dalam beberapa hadits dari sumber ini.

5.1.4 Hadis No. 7

الحديث السابع: الدين النصيحة

عن أبي رقية تميم بن أوس الداري t أن النبي r قال:

“الدين النصيحة. قلنا لمن؟ قال: لله ، ولكتابه ، ولرسوله ، ولأئمة المسلمين ، وعامتهم”. رواه مسلم.

Hadits Ketujuh

Agama adalah Nasihat

I. Terjemahan Pertama

On the authority of Abu Ruqayya Tamim bin Aus ad-Dari, (may Allah be pleased with them both), that the Prophet (may the blessing and peace of Allah be upon him) said: “Religion is sincerity. We said: To whom? He said: To Allah and His Book, and His Messenger, and to the leaders of the Muslims and their common folk.”

It was related by Muslim

II. Terjemahan Kedua

On the authority of Tamim Al-Dari that the prophet, sallallahu ‘alayhi wasallam, said:

“Religion is nasihah.” We said: “To whom?” The Prophet, sallallahu ‘alayhi wasallam, said: “To Allah and His Book, and His messenger, and to the leaders of the Muslims and their common folk.” [Muslim]        

III. Terjemahan Ketiga

On the authority of Tamim Al-Dari that the prophet said: “Religion is sincerity”. We said: “To whom?” He said: “To Allah and His Book, and His messenger, and to the leaders of the Muslims and their common folk”. Narrated by Muslim.

Analisis

Dalam terjemahan pertama, penerjemah menerjemahkan kedua kata [ أبي ] dan [ ابن ] alih-alih menerjemahkannya ke kata umum father dan son. Dia menerjemahkan frasa-frasa yang mengikuti nama-nama Rasulullah (semoga damai dan berkah terlimpah padanya) dan sahabat-sahabatnya t dan r, meskipun dia tidak menerjemahkan / mentransliterasikanya dalam kebanyakan hadits dari buku ini.

Penerjemah menggunakan tanda baca seperti pada teks Arab. Dia menerjemahkan kata hubung و menjadi and daripada menggunakan serangkaian koma antara kata-kata yang berbeda dalam kalimat.

Dalam terjemahan kedua, penerjemah menerjemahkan / mentransliterasikan bukan nama lengkap [ أبو رقية ] atau frasa yang mengikuti nama-nama sahabat Rasul t. Dia mentransliterasikan kalimat r menjadi sallallahu ‘alayhi wasallam daripada menerjemahkannya seperti dalam terjemahan pertama. Ia juga menerjemahkan kata [ نصيحة ] menjadi nasihah, meskipun ia bisa menerjemahkannya ke kata-kata yang sudah dikenal dalam Bahasa Inggris seperti penerjemah pertama yang menerjemahkannya dengan sincerity.

Dalam terjemahan ketiga, penerjemah tidak mentransliterasikan nama lengkap [ أبورقية ] seperti dalam terjemahan kedua. Ia menggunakan kata-kata yang sama dari terjemahan pertama. Dia tidak menggunakan huruf pertama kapital dari kata prophet dan messenger. Dia menerjemahkan / mentransliterasikan frasa t dan r yang tidak dia lakukan dalam kebanyakan hadits (yang sedang dikaji) dari sumber ini.


5.1.5 Hadis No. 12

الحديث الثاني عشر: ترك ما لا يعني المسلم

عن أبي هريرة ، قال: قال رسول الله t : “من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه”. حديث حسن ، رواه الترمذي وغيره هكذا.

Hadits Kedua belas

Meninggalkan yang Tidak Berguna

I. Terjemahan Pertama

On the authority of Abu Huraira t who said: the Messenger of Allah r said: “Part of someone’s being a good Muslim is his leaving alone that which does not concern him.”

A good Hadith which was related by at-Tirmidhi and others in this form.

II. Terjemahan Kedua

On the authority of Abu Hurairah, radiyallahu ‘anhu, who said: The Messenger of Allah, sallallahu ‘alayhiwasallam, said:

“Part of the perfection of someone’s Islam is his leaving alone that which does not concern him.”

[Hadith hasan – Recorded by Tirmidhi]

III. Terjemahan Ketiga

On the authority of Abu Hurairah, who said: The Messenger of Allah said: “Part of someone’s being a good Muslim is his leaving alone that which does not concern him.”

Fine hadith narrated by Termithi and others

Analisis

Dalam terjemahan pertama, penerjemah menggunakan frasa t dan r dalam bahasa Arab dalam teks yang diterjemahkan. Dia juga menggunakan kata Abu sebagai transliterasi dari kata [ أبي ]. Dia menerjemahkan kata ganti yang menunjukkan kata Muslim menjadi his dan him, meskipun hadits ini membahas baik pria maupun wanita Muslim. Ia menerjemahkan bagian-bagian dari kalimat terakhir [ رواه البخاري ومسلم ، حديث حسن ] sebagai sebuah kalimat yang ia gunakan kata ganti relatif daripada koma sebagaimana dalam teks Arab. Dia mentransliterasikan nama narrator [ الترمذي ] menjadi at-Tirmidhi tanpa memusatkan artikel Arab ( الـ ) di awal nama.

Dalam terjemahan kedua, penerjemah mentransliterasikan kata [ أبي ] menjadi Abu dan mentransliterasikan frasa t dan r ke radiyallahu ‘anhu dan sallallahu alayhi wasallam. Dia mulai menerjemahkan dalam kalimat yang lebih jelas daripada terjemahan pertama. Dia menerjemahkan kata ganti yang menunjukkan kepada Muslim menjadi his dan him, meskipun hadits ini membahas baik Muslim pria maupun wanita. Penerjemah menggunakan tanda baca dengan benar. Dia tidak menerjemahkan kalimat terakhir Hadith hasan- Recorded by Tirmidhi menjadi suatu kalimat penuh yang tidak memiliki subjek dan kata kerja di awal. Ini harus diterjemahkan menjadi Hadith hasan which was related by Al-Tirmidhi. Dia mentransliterasikan nama perawi [ الترمذي ] menjadi Tirmidhi tanpa artikel Arab ( الـ ). Dia tidak menjelaskan kata [ حسن ] hasan di akhir hadits sehingga dapat dipahami sebagai nama seseorang.

Dalam terjemahan ketiga, kata [ أبي ] diterjemahkan menjadi Abu daripada kata father yang umum. Penerjemah di sini tidak menggunakan huruf kapital untuk kata Messenger seperti dalam terjemahan pertama dan kedua. Dia menggunakan koma di depan kata ganti relatif who dan dia tidak menggunakan tanda berhenti pada kalimat terakhir dari hadits, menunjukkan bahwa dia tidak menggunakan tanda baca dengan sesuai. Dia juga menggunakan kata ganti his dan him seolah-olah hadis tidak membahas perempuan Muslim. Dia mentransliterasikan nama perawi [ الترمذي ] ke Tirmithidengan th daripada dh ke huruf Arab ذ , sebagaimana dalam terjemahan pertama dan kedua.

5.1.6 Hadits No. 13

الحديث الثالث عشر: كمال الإيمان

عن أبي حمزة أنس بن مالك- خادم رسول الله- عن النبي قال: “لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنسه.” رواه البخاري ومسلم.

Hadits Ketiga belas

Iman yang Sempurna

I. Terjemahan Pertama

On the authority of Abu Hamza Anas ibn Malik t – the servant of the Messenger of Allah r- that the Prophet r said:

“None of you (truly) believes until he wishes for his brother what he wishes for himself.”

It was related by al-Bukhari and Muslim.

II. Terjemahan Kedua

Abu Hamza Anas bin Malik, radiyalahu ‘anhu, who was a servant of the Messenger of Allah, sallallahu ‘alayhi wasallam, reported that the prophet, sallallahu ‘alayhi wasallam, said:

“None of you truly believes (in Allah and in His religion) until he loves for his brother what he loves for himself”. [Al-Bukhari and Muslim]

III. Terjemahan Ketiga

On the authority of Anas bin Malik, the servant of the messenger of Allah, that the prophet said: “None of you [truly] believes until he wishes for his brother what he wishes for himself.” Related by Bukhari and Muslim.

Analisis

Dalam terjemahan pertama, dua kata أبي dan بن ditransliterasikan ke Abu dan bin. Penerjemah menghindari struktur sintaksis; alih-alih menggunakan أبي , ia menggunakan Abu. Dia meninggalkan dua frasa t dan r tidak diterjemahkan. Dia menggunakan kata truly untuk memberikan lebih banyak penjelasan tentang pentingnya iman (…) bahwa itu harus dalam kepercayaan. Dia menerjemahkan kata أخ menjadi brother dan menerjemahkan kata ganti yang menunjukkan kata ini his dan him, meskipun kata أخ dalam hadits ini menunjukkan baik pria dan wanita Muslim. Dia menggunakan tanda baca dengan benar. Dia menerjemahkan kalimat terakhir hadits رواه البخاري ومسلم menjadi It was related by al-Bukhari and Muslim dalam bentuk penuh. Dia mentransliterasikan nama البخاري ke al-Bukhari dengan artikel Arab ( الـ ), meskipun tidak ditulis dalam beberapa hadits dari sumber ini yang sedang diteliti.

Dalam terjemahan kedua, penerjemah tidak memulai dengan frasa seperti biasa On the authority seperti dalam sebagian besar hadits yang sedang dikaji dari sumber ini. Dia menerjemahkan kata بن menjadi bin dan dua frase t dan r ke radiyallahu ‘anhu and sallallahu alayhi wasallam. Dia menggunakan tanda baca dengan benar. Dia menyebutkan kalimat tambahan ( in Allah and His religion ) dalam kalimat pertama untuk menjelaskan untuk siapa iman itu. Dia menerjemahkan kata أخ dan kata ganti yang menunjukkannya menjadi bentuk maskulin seolah-olah hadits ini hanya untuk pria Muslim. Lebih baik jika dia menerjemahkan kata أخ ke kedua kata brother sister dan menerjemahkan kata ganti menjadi his / her dan him / her. Ia menggunakan terjemahan yang lebih sederhana dan lebih jelas daripada terjemahan pertama. Dia tidak menerjemahkan kalimat terakhir sebagai kalimat lengkap sehingga dia hanya menerjemahkan nama narator Al Bukhari dan Muslim daripada menerjemahkannya ke kalimat seperti It was related by Al-Bukhari and Muslim.

Dalam terjemahan ketiga, penerjemah menerjemahkan kata بن menjadi bin daripada menerjemahkannya ke kata umum son of. Ia tidak menerjemahkan / mentransliterasikan dua frasa t dan r . Dia tidak menggunakan dua kata dalam kata Rasul dan Nabi seperti dalam terjemahan pertama dan kedua. Ia juga menerjemahkan kata أخ dan kata ganti menjadi bentuk maskulin. Ia menggunakan kata-kata yang sama dari terjemahan pertama. Dia menerjemahkan kalimat terakhir hadits رواه البخاري ومسلم menjadi Related by Bukhari and Muslim alihalih menerjemahkannya ke It was related by al-Bukhari and Muslim yang merupakan kalimat lengkap. Dia menerjemahkan nama narator البخاري ke Bukhari tanpa menambahkan al- untuk mengganti artikel Arab ( الـ ).

5.1.7 Hadis No. 21

الحديث الحادي والعشرون:

عن أبي عمرو- وقيل أبي عمرة- سفيان بن عبد الله قال : “قلت: يا رسول الله, قل لي في الإسلام قولا لا أسأل عنه أحدا غيرك , قال: قل: آمنت بالله, ثم استقم” رواه مسلم.

Hadits Keduapuluh satu

Iman dan Istiqomah

I. Terjemahan Pertama

On the authority of Abu Amr and he is also given as Abu Amra-Sufyanibn Abdullah t who said:

“I said: O Messenger of Allah, tell me something about Islam which I can ask no one but you. He said: Say: I believe in Allah; and thereafter be upright.” It was related by Muslim.

II. Terjemahan Kedua

On the authority of Abu ‘Amr, though others call him Abu ‘Amra Sufyan bin ‘Abdullah, radiyallahu anhu, who said: I said: “O Messenger of Allah, tell me something about Islam which I could not ask anyone about save you.” He answered: “Say: ‘I believe in Allah’, and then stand firm and steadfast.” [Muslim]

III. Terjemahan Ketiga

On the authority of Sufian bin Abdullah, may Allah be pleased with him, said:

I said “O Messenger of Allah, tell me something about Islam which I can ask of no one but you”. He said: “Say: ‘I believe in Allah’, and thereafter be upright.”  Related by Muslim.

Analisis

Dalam terjemahan pertama, penerjemah menggunakan cara transliterasi untuk dua kata أبي dan بن. Ia menerjemahkan nama lengkap أبي عمرو . Dia menerjemahkan nama عمرو ke Amr daripada Umar bahwa ada perbedaan di antara mereka dalam bahasa Arab; bahwa Amr adalah untuk عمرو yang mengakhiri huruf و , dan Umar adalah untuk عمر. Dia meninggalkan frasa t tidak diterjemahkan. Dalam dua kalimat terakhir dari hadits, ia menerjemahkan kata ثم ke dalam thereafter, meskipun lebih mudah untuk dipahami jika ia menggunakan kata yang sudah dikenal then. Dia menerjemahkan kalimat negasi لا أسأل عنه أحدا غيرك menjadi I can ask no one but you daripada cannot ask anyone but you bahwa bentuk negasi dari not adalah setelah modal can.

Dalam terjemahan kedua, penerjemah menerjemahkan dua kata أبي dan بن menjadi Abu dan ibn daripada kata father dan son. Ia juga mentransliterasikan frasa t. Dia menggunakan bentuk negasi yang lebih baik daripada yang pertama dan ketiga bahwa ia menggunakan bentuk negatif dari modal sebagai could not alih-alih menerjemahkannya seperti yang pertama dan ketiga. Ia tidak menerjemahkan kalimat terakhir رواه مسلم sebagai kalimat lengkap, ia hanya menerjemahkan nama periwayat.

Dalam terjemahan ketiga, penerjemah tidak mentransliterasikan nama lengkap أبي عمرو. Ia juga menerjemahkan kata بن ke bin daripada the son of. Ia menerjemahkan frasa t, meskipun penerjemah ini tidak berminat menerjemahkan frasa t dan r dalam hadits lain yang sedang dipelajari. Dia menggunakan gaya dan kata-kata yang sama untuk menerjemahkan hadits ini dalam terjemahan pertama. Dia tidak menerjemahkan kalimat terakhir dengan benar, bahwa dia menerjemahkannya seolah-olah itu adalah kalimat Bahasa Arab, dia menerjemahkan رواه مسلم menjadi related by Muslim daripada related by Muslim.

5.1.8 Hadis No. 31

الحديث الحادي والثلاثين: الزهد الحقيقي

عن أبي العباس سهل بن سعد الساعدي قال: “جاء رجل إلى النبي فقال: يا رسول الله دلني على عمل إذا عملته أحبني الله وأحبني الناس , فقال: ازهد في الدنيا يحبك الله, وازهد فيما عند الناس يحبك الناس”. حديث حسن رواه ابن ماجه وغيره بأسانيد حسنة.

Hadit Ketigapuluh satu

Zuhud yang sesungguhnya

I. Terjemahan Pertama

On the authority of Abu al Abbas Sahl ibn Sa’ad as-Sa’idi t who said:

A man came to the Prophet r and said: O Messenger of Allah, direct me to an act which, if I do it, (will cause) Allah to love me and people to love me. He said: “Renounce the world and Allah will love you, and renounce what people possess and people will love you.”

A good Hadith related by Ibn Majah and others with good chains of authorities.

II. Terjemahan Kedua

On the authority of  Abu al-‘Abbas Sahl bin Sa’d al-Sa’idi, radiyallahu ‘anhu, 
who said:

A man came to the prophet, sallallahu ‘alayhi wasallam, and said: “O Messenger of Allah, direct me to an act which if I do it, [will cause] Allah to love me and people to love me.” He, sallallahu ‘alayhi wasallam, answered: “Be indifferent to the world and Allah will love you; be indifferent to what people possess and they will love you.”

[A fine hadith related by Ibn Majah and others with good chains of authorities]

III. Terjemahan Ketiga

On the authority of Sahl bin Saad Al-Saedi, who said:

A man came to the prophet and said: “O Messenger of Allah, direct me to an act which, if I do it, [it will cause] Allah to love me and people to love me.” He said: “Renounce the world and Allah will love you, and renounce what people possess and people will love you.”

A fine Hadith related by Ibn Majah and others with good chains of authorities.

Analisis

Dalam terjemahan pertama, dua kata أبي dan بن ditransliterasikan ke Abu dan ibn pada awal hadits, sementara penerjemah tidak menerjemahkan / mentransliterasikan frasa t dan r. Dia menggunakan frasa tambahan (will cause) yang menjelaskan kalimat; yaitu bahwa bekerja adalah sebab kecintaan Allah dan manusia. Ia tidak menggunakan tanda baca dengan benar, misalnya ia menggunakan koma setelah kata ganti relatif which. Dia menggabungkan dua kalimat menggunakan kata hubung andRenounce the world and Allah will love you  daripada menggunakan koma di antaranya sehingga seolah menunjukkan hasil dari penolakan. Dalam kalimat terakhir hadits, ia menerjemahkan dua kata حسن dan حسنة menjadi kata good tanpa menjelaskan artinya.

Dalam terjemahan kedua, penerjemah menerjemahkan dua kata أبي dan بن ke Abu dan ibn . Dia juga menerjemahkan dua frasa t dan r ke radiyallahu ‘anhu dan sallallahu alayhi wasallam. Dia menyebutkan frase r lagi setelah kata ganti Dia untuk menjelaskan bahwa kata ganti ini menunjukkan Nabi semoga bamai dan berkah terlimpah padanya. Dia menerjemahkan kata حسن menjadi fine dan menerjemahkan kata حسنة menjadi good , meskipun mereka memiliki arti yang sama dalam bahasa Arab.

Dalam terjemahan ketiga, penerjemah tidak mentransliterasikan nama lengkap narator pertama أبو العباس سهل بن سعد الساعدي . Dia menerjemahkan kata بن ke bin di awal hadits dan menerjemahkannya ke Ibn di akhir hadits, meskipun mereka memiliki arti yang sama dalam bahasa Arab. Ia tidak menerjemahkan atau mentransliterasikan dua frasa t dan r . Secara khusus, terjemahan ini mirip dengan terjemahan pertama yang penerjemah menggunakan gaya dan kata-kata yang sama kecuali kalimat pertama dan terakhir yang diterjemahkan dengan cara yang berbeda.

6.0 Kesimpulan dan Rekomendasi

6.1. Kesimpulan

Setelah menyelesaikan perjalanan yang diberkahi untuk studi komparatif tentang Hadits Empat Puluh An-Nawawi, para peneliti memperhatikan bahwa proses penerjemahan didasarkan pada dua hal; yang pertama adalah memahami makna teks yang dimaksudkan dan yang kedua adalah mengekspresikan makna itu dalam bahasa lain sehingga tidak menyimpang dari kerangka bahasa sumber.

Terjemahan Sunnah kenabian hanya dapat dilakukan dengan memahami konteks Hadits dan menafsirkan maknanya dengan menggunakan referensi ilmiah dan agama tentang bidang ini, atau melalui para ulama yang memiliki pengalaman yang diperlukan untuk itu. Jika tidak, apabila seorang penerjemah mengabaikan hal-hal ini, maka ia dapat menganggap suatu Hadits tidak bermakna dan mentransfernya dengan cara yang salah.

Kesalahan umum yang dilakukan penerjemah teks agama adalah karena kelemahan akademis dalam masalah agama. Selain itu, penerjemah terkadang mengabaikan bahasa sumber dan bahasa target, seperti yang terlihat dalam terjemahan beberapa teks yang tidak memiliki ekspresi linguistik yang akurat dan kurang menggunakan tanda baca yang tepat. Menggunakan kata-kata dalam bahasa Arab yang tidak setara dengan bahasa Inggris, sehingga seorang penerjemah menggunakan sistem transliterasi untuk kata-kata ini. Ini dapat menyebabkan salah dipahami.

Melalui studi ini, diketahui bahwa para penerjemah tidak tertarik pada aturan tata bahasa untuk kedua bahasa; yaitu Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Hal ini dapat menyebabkan Muslim non-Arab mendapat pemahaman yang salah tentang orang yang dimaksud dalam hadits. Keberhasilan proses penerjemahan Sunnah Nabi tergantung pada pemahaman yang benar tentang teks yang ditransfer.

6.2 Rekomendasi

Ada beberapa rekomendasi yang muncul dari penelitian ini untuk menggambarkan beberapa hal yang diperlukan selama proses penerjemahan teks-teks agama.

Seorang penerjemah teks-teks agama Islam harus fasih berbahasa Arab karena itu merupakan bahasa Al-Quran dan Sunnah kenabian.

Penerjemah teks-teks ini harus takut kepada Allah dalam menyelidiki apakah ada yang salah atau sudah benar dalam penerjemahan hadits nabi (semoga damai dan berkah besertanya), karena ia membawa pesan pribadi dari Allah yang tidak menerima adanya distorsi. Jadi, terjemahan harus sangat tepat dan sempurna.

Seorang penerjemah teks-teks agama harus tertarik pada bidang terjemahannya; yaitu masalah agama yang terikat.

Seorang penerjemah harus berkonsultasi dengan para cendekiawan yang memiliki pengalaman baik tentang bidang Sunnah kenabian dan bersikap awas terhadap mereka yang mencoba untuk mendistorsi Islam.

Penerjemahan adalah cara yang paling penting untuk seruan Islam. Jadi, para penerjemah harus memberikan perhatian lebih saat mentransfer apa yang Allah kirimkan kepada seluruh manusia ini.

Arabic References

العقيل، محمد بن عبد العزيز بن محمد. (2008/ 1429هـ.) أحكام الترجمة.

Al-Aqeel, Muhammad bin Abd Al-Azeez bin Muhammad. (2008.) Retrieved http://d1.islamhouse.com/…/ar-ahkam- 

الأربعينات “حديث”. (2014.)

Al-Arbaeenat ‘Hadith’. (2014.) Retrieved http://ar.m.wikipedia.org/…/…-الأربعينات

الفوادي، رحيم علي. (د.ت)

Al-Fawadi, Raheem Ali. (n.d.) Retrieved www.aot.org.Ib/…/Attachment93-120pd 

الغزالي، بشرى. (2016.) أهمية الترجمة في حوار الثقافات – مركز الدراسات والبحوث حول 
قضايا النساء.

Al-Ghazali, Bushra. (2016.)Retrieved www.annisae.m/Article.aspx?c=5612

الحومي،  بسام. (2010.) الترجمة الدعوية في صدر الإسلام، دورها ومكانتها.

Al-Humi, Bassam. (2010.) Retrieved www.wata.cc/…/showthread.php ?…

آل جبعان، ظافر بن حس. (د.ت.) علم الأربعينات و الأربعين النووية.

Al-Jbaan, Dhafer bin Hasan. (n.d.) Retrieved elibrary.mediu.edu.my/…/
SDL1224.pdf

الجابري، عامر الزناتي. (2010 / 1431 هـ.)

Al-Jabri, Aamer Al-Zanati. (2010.) Retrieved www.faculty.ksu.edu.sa/ …/…

الخضير، عبد الكريم. (2014.) شرح كتاب الأربعين النووية

Al-Khadir, Abd Al-Kareem. (2014.) Retrieved www.shukudheir.com/
scientific 
…/1889833334

المصطفى، اعسو. (2014.) الترجمة و خصوصية النص الديني- مركز تفسير

Al-Mustafa, A’su. (2014.) Retrieved vb.tafsir.net/tafsir38588/

النووي، الإمام. (1992.) رياض الصالحين. بيروت: المكتب الإسلامي.

Al-Nawawi, Al-Imam. (1992.)

السرجاني، راغب. (2006.) زيد بن ثابت. موقع قصة الإسلام

Al-Sarjani, Ragheb. (2006.) Retrieved islamstory.com/ar/زيد-بن-ثابت

—————– (2012.) نشأة الترجمة في الحضارة الإسلامية

————————–. (2012.) Growth of the Translating in the Islamic Culture. Retrieved www.islamstory.com/الترجمة-ودورها-في-

—————– (2015.) زيد بن ثابت/ موقع قصة الإسلام

————————–. (2015.) Retrieved www.bul2000.blogspot.com/2015/ …/blog-po…

سيرة الإمام النووي رحمه الله تعالى. (2003.) إسلام ويب. مركز الفتوى

Biography of Al-Nawawi. (2003.) Retrieved fatwa.Islamweb.Next
/…/index php?…Id…

سيرة الإمام النووي رحمه الله تعالى. (د.ت.) سنة أونلاين

Biography of Al-Imam Al-Nawawi. (n.d.) Sunnahonline. Retrieved http://nawawiyya.Sunnahonline.org/

سيرة الإمام النووي. (2013.) بوابة الفجر. صحيفة الفجر الأسبوعية

Biography of Al-Imam Al-Nawawi. (2013.) Retrieved www.elfagr.org/369725

غنيمة، عبد الفتاح مصطفى. (2007.) ترجمة الحضارة العربية الإسلامية.

Ghaneema, Abdulfattah Mustafa. (2007.) Translation of Civilization of Islamic Arabic.Retrievedwww.Islamstory.net/…/art show. (101-108) 25 Nov. 2007.

محمد، صبري. (د.ت.) الترجمة للمحترفين. كنوز المعارف للنشر والتوزيع.

Muhammad, Sabri. (n.d.) Translation for Professionals. Kunuz Al-Maa’ref.

نعماني، أبو جمال  قطب الإسلام. (2006.) الترجمة ضرورة حضارية

Numani, Abu-Jamal Qutb Al-Islam. (2006.) Translation is Civilization Necessity. Retrieved www.banglajol.info/index.php/…2281

مشاريع الترجمة في العالم العربي. (د.ت.)

Projects of Translation in the Arab World. (n.d.)Retrieved www.biblex.org/…/Static
PageAr.aspx2 

النصوص الدينية. (2013.)

Religious Texts. (2013.)Retrieved www.adawaanews.net/Article Print.aspx ?…

الترجمة الدينية. (2013.)

Religious Translation. (2013.)Retrieved http://ar.wkipedia.org/…/ …ترجمة-ديني

النص الديني والترجمة. (2009.) الترجمة لسان العالم

Translation and Religious Text. (2009.)Retrieved lisssan.3oloum.org/t189-topic

الترجمة والنص المقدس. (2012.) ندوة دولية، فاس (المغرب)

Translation and Sacred Text. (2012.) Retrieved www.mihespress.com/24.heures/
52008.html

نقد الترجمة. (2013.)

Translation Criticism. (2013.) Retrieved https://m.facebook.com/permalink.php ?…

وايت، طاهر. (د.ت.) شروط الترجمة التتبعية للسنة النبوية

Waiet, Tahir. (n.d.) Retrieved https://1.islamhouse.com/…/ar-shrut- 

يوسف، محمد حسن. (د.ت.) صعوبات الترجمة ومشاكلها- صيد الفوائد

Yusuf, Muhammad Hasan. (n.d.) Retrieved http://saaid.net/Doat/hasn/53.htm

—————-. (د.ت.) دور المترجم – صيد الفوائد

——————————-. (n.d.) Retrieved http://saaid.net/Doat/hasn/43.htm

يوسفي، رضوان. (د.ت.) الترجمة وبعدها الروحي،

Yusufi, Radwan. (n.d.) Retrieved www.hiramagazine.com/…/2726- …الترجمة

زيد بن ثابت. (2015.) ترجمان الرسول – جريدة الاتحاد

Zaid bin Thabit. (2015.) Retrieved www.alittihad.ae/…/details.php?id…2015

———–. (2016.)

——————–. (2016.) Retrieved https://a.m.wikipedia.org/…/    – زيد-بن

English References

Aamer, Ashref Muawwed Mustafa. (n.d.) Your Guide to Correct Translation. Cairo: Ibn-Sina Library.

Al-Harahsheh, Ahmad Muhammad Ahmad. (2013.) Translation of Islamic Texts and Ideology. Irbid (Jordan): Yarmouk University.         Retrieved www.faculty.yu.edu.jo/harahsheh /…/…

Al-Khudrawi, Deeb. (1995.) A Dictionary of Islamic Terms: Arabic- English. Damascus: Al-Yamamah.

Badi, Jamal Ahmed. (2002.) Shurh Arb’een An-Nawawi. Retrieved ahadith.co.uk/…/commentary-of-Forty-…

Darul Iftaa. (n.d.) Retrieved www.daruliftaa.net.index.php/…/hadeeth

Elewa, Abdelhamid. (2014.). Features of Translating Religious Texts. Retrieved www.sil.org/…/16/…/siljot2014-1-04.pdf

Nida, Eugene. (1994.) The Sociolinguistics of Translating Canonical Religious Texts. Retrieved www.bible-researcher.com/nida4.html

Pickthall, Muhammad Murmaduke. (2012.) The Meaning of the Glorious Qurani: An Explanatory translation. United Kingdom, Birmingham. Islamic Dawah Centre International.

Riyadh Al-Saliheen. (n.d.) Retrieved http://r-warsh.com/vb/archive/index.php/
t-412845.html

Translation Criticism. (2016.) Retrieved https://en.m.wikipedia.org/…/Translation 

Translation of Al-Nawawi’s 40 Hadiths. (n.d.) 4muhammed.com. Retrieved www.4uhammed.com/…/200-Translati 

Vilionkade, Sidheeque M.A. (2001.) Al-Nawawi’s Forty Hadith. Saudi Arabia. Dar Al-Hadayan.

Zarabozo, Jamal al-Din M. (n.d.) Commentary on the Forty Hadith of Al-Nawawi Vol. 1. Retrieved http://archive.org/ 

By : Dr. Hussein S. Mohsen.

Menarik bukan? Nantikan terus tulisan-tulisan kami seputar penerjemahan dan kebahasaan.

Salam Excellent!